_*MENYIBAK MAKNA MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH DALAM ILMU TASAWUF*_
Assalamualaikum warahmatullahi wa Baroqatuh.
Saudaraku...sebenarnya antara MUSYAHADAH dan MUKASYAFAH adalah dua Maqom keadaan yang tidak dapat di pisahkan atau dalam artian saling berkaitan.
Karena bagaimana mungkin seseorang itu dapat ber MUSYAHADAH ( penyaksian ) jika tak terjadi MUKASYAFAH ( tersingkap tabir )
Dan bagaimana mungkin dapat terjadi MUKASYAFAH (tersingkap tabir ) jika tidak adanya MUSYAHADAH ( penyaksian )
1 MUKASYAFAH berasal dari kata kasf/ fakasyafna ( terbuka tirai )yaitu tersingkapnya tirai / penghalang yang telah menghalangi seorang hamba dengan Tuhan NYA.
Tersingkapnya tabir penghalang antara seorang hamba dengan Tuhannya, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an :
فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ
Artinya :
maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.
(Surat Qaf ayat 22 )
Menurut Istilah Tasawuf disebutkan bahwa kasyf adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi hati seorang hamba, karena telah bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya ketika hati itu telah dibersihkan. Lalu tampaklah di hati pengertian-pengertian menyeluruh sebagai hasil dari ma’rifah Allah (pengenalan kepada Allah)
Kasyf dalam pandangan Imam Al-Ghazali disebut sebagai fana’ fittauhid.
Dengan demikian, fana‘ dalam pemahaman Imam Al Ghazali adalah kefanaan qalb, yaitu hilangnya kesadaran qalbu tentang dirinya karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yang tinggal dalam kesadaran hanya yang Esa.
Imam Al-Ghazali kemudian mengatakan, bahwa hati itu mempunyai dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut dalam (alam ghaib), yaitu Lauhul Mahfudz dan alam kemalaikatan (alam ruhani).
Adapun pintu yang lain terbuka ke arah panca indra yang berkaitan dengan alam dunia (fisik) yang merupakan cerminan (pantulan) apa yang ada di alam kemalaikatan (Lauhul Mahfudz).
Pintu yang terbuka ke arah alam ghaib dan Lauhul Mahfudz adalah seperti hal yang keajaiban mimpi yang benar secara yakin, sehingga hati bisa menghayati ditengah tidur akan hal-hal yang akan terjadi di kemudian hari atau kejadian-kejadian ujian pada masa lalu tanpa perantaraan tanggapan inderawi.
Dari uraian diatas, bahwa Imam Al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu mukasyafah yang biasa juga disebut dengan Ilmu Laduni dengan ilmu ta’limiyah, yaitu laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya.
Imam Al Ghazali mengklasifikasikan pengetahuan pada tiga tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yang digunakan.
Pengetahuan awam diperoleh melalui jalan meniru atau taqlid. Sedangkan pengetahuan para mutakallimin diperoleh melalui pembuktian rasional. Kualitas peringkat pertama dan kedua ini hampir sama, sedangkan peringkat ketiga adalah yang tertinggi kualitasnya, yaitu pengetahuan para sufi yang diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi qalb yang bening.
Dalam perkembangan ilmu Tasawuf, para sufi membagi kasyf pada dua tingkatan, yakni kasyf aqly dan kasyf bashary.
Kasyf ‘Aqly
Kasyf aqly adalah penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif paling rendah. Allah tidak bisa diketahui dan dicintai melalui akal, karena akal membelenggu dan menghalangi manusia dalam tahap tahap akhir taraqqi-nya.( Pendakiannya )
Kasyf Bashary
Adapun Kasyf Bashary adalah penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan yang langsung dilakukan Allah.
Dan dalam suatu peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan bagi seorang sufi bisa menjadi tempat bagi peningkatan visual ini.
Allah adalah Yang Maha Mutlak. Dia adalah Keindahan dan Keagungan.
Melalui makhluk-Nya, Allah bisa mengungkapkan diri-Nya pada hamba-Nya lewat salah satu Nama Keindahan-Nya yang akan menimbulkan kemanisan dan kesenangan atau lewat salah satu Nama Keagungan-Nya yang akan melahirkan ketakziman dan ketakutan.
Begitulah kasyf, kondisi dimana hati seseorang bersih-bening, sehingga dengannya bisa melihat dan menyaksikan apa yang selama ini terhijab oleh dosa dan materi keduniaan.
2 MUSYAHADAH,
MUSYAHADAH adalah penyaksian atas ketersingkapan hijab yang nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, serta tak ada lagi imajinasi maupun keraguan sedikitpun. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
Di dalam Al Qur'anul Karim disebutkan tentang MUSYAHADAH/penyaksian seperti Ayat di bawah ini :
Surat Al-Baqarah Ayat 115
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya :
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui
( Surat Al-Baqarah Ayat 115 )
Juga Allah berfirman didalam Al Quran Surat Al-An’am Ayat 79
إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Artinya :
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
(QS Surat Al-An’am Ayat 79 )
Syekh Ibnu Athaillah menggambarkan secara bijak dalam definisi musyahadah yaitu :
"Alam semesta ini gelap, dan sebenarnya menjadi terang karena dicahayai Allah di dalamnya. Karena itu siapa yang melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, benar-benar ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma'rifat oleh mendung-mendung duniawi semesta."
Musyahadah yaitu dapat diartikan dengan Menyaksikan Allah.
Sebenarnya dalam mukasyafah, yaitu tiada yang menghalangi diri hamba dengan Allah itu , Namun yang menghalangi adalah prasangka hamba itu sendiri karena dia berprasangka adanya sesuatu selain Allah.
Allah sesungguhnya tidak bisa dihijabi oleh apa pun. Karena jika ada hijab yang bisa menutupi Allah, berarti hijab itu lebih besar dan lebih hebat dibanding Allah.
Dalam hal ini syekh Ibnu Atoillah menyatakan :
Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu ,
Sedangkan Allah itu lebih nyata dari segala sesuatu.
Bagaimana Allah itu dapat di hijab oleh sesuatu , sedangkan Allah yang menjadikan segala sesuatu.
Dan Bagaimana Allah dapat di hijab oleh sesuatu , sedangkan jika tidak ada Allah , maka tidak ada sesuatu.
Hal ini menunjukkan bahwa sebuah kedekatan atau taqarrub sampai-sampai seakan-akan melihatNya, adalah akibat dari kesadaran kuat bahwa "Dialah yang melihat kita." Kesadaran jiwa bahwa Allah SWT melihat kita terus menerus, menimbulkanpantulan pada diri kita, yang membukakan matahati kita dan sirr kita untuk memandangNya.
Allah berfirman didalam Al Qur'an
إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Artinya :
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. gak
(QS Surat Al-An’am Ayat 79 )
Kesadaran MUSYAHADAH ( menyaksikan ) dan Memandang Allah, akan mengekspresikan sebuah pengalaman demi pengalaman yang berbeda-beda antar para Sufi, sesuai dengan tingkat Maqom ruhaniyah (kondisi ruhani) masing-masing.
Ada yang menyadari dalam pandangan tingkat Asma Allah, ada pula yang sampai ke Sifat Allah, bahkan ada yang sampai ke Dzat Allah. Lalu kemudian turun kembali melihat Sifat-sifatNya, kemudian Asma'-asmaNya, lalu melihat alam semesta dan makhlukNya.
Untuk menyikapi dalam hal MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH ini sepertinya kita perlu mengoreksi diri kita sendiri lewat perkataan Abu Yazid al-Busthomy, yaitu
"Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah, Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, diam, itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk."
Kontemplasi ( pengosongan diri ) tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid yang Kamil Mukammil hanya akan menggapai jalan yang buntu saja meskipun dalam praktek Muroqobah, Musyahadah maupun Ma'rifah.
Jadi agar tidak menjadi ke sia sia an maka sebaiknya untuk mencapai MUSYAHADAH maka haruslah dalam bimbingan seorang Mursyid yang Kamil lagi mukamil.
Bagi mereka yang dicahayai oleh Allah maka
"Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraanya, lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya, sama sekali dunia bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketentraman. Namun ia jiwanya bangkit di dalam dunia itu, semata menuju Allah Ta'ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk datang kepada Allah.
Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemeseraan denganNya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala'ah."
Ibnu Athaillah menyebutkan enam hal dalam soal hubungan hamba dengan Allah di hadapan Allah, yang harus dimaknai dengan rasa terdalam, untuk memahami dan membedakan satu dengan yang lain.
MUFATAHAH : artinya, permulaan hamba menghadapNya di hamparan remuk redam dirinya dan munajat, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma, Sifat dan keagungan DzatNya, agar hamba luruh di sana dan lupa dari segala yang ada bersamaNya.
MUWAJAHAH : artinya saling berhadapan, adalah sikap menghadapnya hamba pada Tuhannya tanpa sedikit dan sejenak pun berpaling dariNya, tanpa alpa dari mengingatNya. Allah menemui dengan CahayaNya dan hamba menghadapnya dengan Sirrnya, hingga sama sekali tidak ada peluang untuk
melihat selainNya, dan tidak menyaksikan kecuali hanya Dia.
MUJALASAH : artinya menetap dalam majlisNya dengan tetap teguh terus berdzikir tanpa alpa, patuh tunduk tanpa lalai, beradab penuh tanpa tergoda, dan hamba memuliakanNya seperti penghormatan cinta dan kemesraan agung, lalu disanalah Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, "Akulah berada dalam majlis yang berdzikir padaKu."
MUHADASAH : Artinya dialog, yaitu menempatkan sirr (rahasia bathin) dengan mengingatNya dan menghadapNya dengan hal-hal yang ditampakkan Allah pada sirr itu, hingga cahayaNya meluas dan rahasia-rahasiaNya bertumpuan. Inilah yangdisabdakan Nabi saw, "Pada ummat-ummat terdahulu ada kalangan disebut sebagai kalangan yang berdialog dengan Allah, dan pada ummatku pun ada, maka Umar diantaranya."
MUSYAHADAH, adalah ketersingkapan yang nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, "Syuhud itu dari penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya Wujud."
MUTHALA'AH, : Adalah keselarasan dengan Tauhid dalam setiap kepatuhan, keta'atan dan bathin, semuanya kembali pada hakikat tanpa adanya kontemplasi atau analisa, dan setiap yang tampak senantiasa muncul rahasiaNya karena keparipurnaanNya.
Demikianlah keterangan tentang keadaan maqom MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman bagi kita semua.
Wallahu alam bissowab.