203 - ILMU-ILMU LADUNI HADLROTUS-SYEIKH AL-ARIF BILLAH MBAH KH ABDUL MADJID MA’RUF MU'ALLIF SHOLAWAT WAHIDIYAH QS WA RA, AL-GHOUTS FII ZAMANIHI, PENGASUH PERJUANGAN WAHIDIYAH DAN PONPES KEDUNGLO KEDIRI JAWA TIMUR.
“IKUT AKTIF BERJUANG MENGANGKAT DAN MEMPERBAIKI AKHLAQ UMMAT MASYARAKAT LEWAT JALAN BATHINIYAH dan LAHIRIYYAH DENGAN AMALAN SHOLAWAT WAHIDIYAH”.
"AL-GHOUTS ITU IBARATNYA SEPERTI RAJA ATAU RATU, MENINGGAL GANTI-MENINGGAL GANTI, HINGGA DEKAT HARI KIYAMAT NANTI".
Kali ini kita akan membahas kisah dan petuah sosok fenomenal dan faktual Hadlrotus-Syeikh Al-Imam Al-Arif Billah Guru Besar Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi.
Sebelum kisah dan petuah tsb, kita pasti mengingat SANG PROFESSOR DO'A MBAH KH. MOHAMMAD MA'RUF RA, doa ampuh MUSTAJABAH ilmu kebal senjata berikut ini :
"ALLAHUMMA SALIMNA MINAL BOM WAL BUNDUQ, WAL BEDIL WAL MARTIL, WA UDDADA HAYATINA".
Sambil minum air yang biasa dipakai untuk wudhu di jeding masjid Kedunglo, maka kebal-lah seketika dia. Itulah amalan yang diberikan kepada para pejuang 45 yang bertempur melawan penjajah yang menyerang Surabaya pada 10 Nopember 1945.
Sumbangsih Mbah Yahi Ma’roef Ra kepada bangsa dan negara Indonesia tercinta di zaman perjuangan mengusir penjajah amatlah besar. Hal ini beliau tunjukkan saat pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya meledak. Bersama Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah (Ayah Handa Mbah Nyahi Shofiyah Madjid RA) beliau turut ke medan pertempuran walau berada di garis belakang sebagai tukang do’anya. Berkat do’a Mbah Yahi Ma’roef Ra, tak jarang bom yang meledak berubah menjadi butiran-butiran kacang hijau. Sebagaimana pula diriwayatkan oleh murid-muridnya yang juga turut berperang, para tentara dan santri yang ikut berjuang kebal dengan berbagai senjata setelah diasma'i oleh Mbah Yahi Ma’roef Ra.
Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong unik. Pertama setelah pasukan dibariskan, beliau menyuruh mereka agar minum air jeding di utara serambi Masjid Kedunglo. Selanjutnya beliau berdo’a yang diamini oleh pasukan pejuang. Di antara do’anya seperti diatas, “Allahumma salimna minal bom wal bunduq, wal bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat ampuh, manjur n ijabah. Terbukti nyata pada semua tentara yang sudah beliau isi kebal aneka senjata.
Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-apa malah punggungnya ngecap martil sebesar ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga mengikuti pertempuran di Surabaya. Kabarnya kakinya juga terkena bom tapi tidak apa-apa.
Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri) Rembang, di zaman itu pernah di kejar-kejar penjajah Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo minta perlindungan kepada Mbah Ma’roef. Kemudian Mbah Ma’roef mengijazahi sebuah do’a, setelah diamalkan beliau selamat dari incaran orang Jepang. Berkat jasa Mbah Ma'roef Kyai Kedunglo, beliaupun lalu mewasiatkan kepada anak cucunya agar terus mengamalkan do’a pemberian Mbah Yahi Ma’roef, doa tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa diabadikan dalam buku terjemah Burdah. Itulah Mbah Yahi Ma’roef, memanfaatkan keampuhan do’anya dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi nusantara ini.
Sang pengijazah amalan TSB bukan orang sembarangan, dia adalah Hadlrotus- Syeikh Al-Mukarrom Mbah KH Mohammad Ma’ruf Ra, Pengasuh dan Pendiri Kerajaan Pondok Pesantren Kedunglo, Desa Bandar Lor, Kota Kediri, ramandanya Mbah KH. Abdul Madjid Ma'rof Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi.
Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir dari pernikahan Hadlrotus- Syeikh Al-Mukarrom Mbah KH Mohammad Ma’roef Ra, pendiri Kerajaan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah dengan Nyahi Hasanah putri Kyai Sholeh Banjar Melati Kediri. Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H/20 Oktober 1918 M sebagai putra ke tujuh dari sembilan bersaudara.
Beliau lahir di tengah pesantren Kedunglo yang luas nan sepi. Dikelilingi rawa-rawa dengan jumlah santri yang tak pernah lebih dari empat puluh orang.
Ketika masih baru berumur dua tahun oleh bapak-ibunya, gus Madjid dibawa pergi haji ke Makkah Al Mukarramah. Di Makkah, setiap memasuki jam dua belas malam, Mbah Kyai Ma’roef selalu menggendong Gus Madjid ke Baitullah di bawah Talang Mas. Di sana Mbah Kyai Ma’roef berdoa, agar bayi yang berada dalam gendongannya kelak menjadi orang besar yang sholeh hatinya, Mbah Kyai Mohammad Ma’roef selalu mendoakan Gus Madjid agar menjadi orang shaleh. Konon selama berada di Mekah, si kecil Agus Madjid yang juga dikhitankan di sana akan diambil anak oleh salah seorang ulama Arab terkenal dan telah disetujui oleh Mbah Yahi Ma’roef. Beruntunglah Mbah Nyahi Hasanah keberatan, sehingga Agus Madjid tetap berada dalam asuhan kedua orang tuanya.
Cerita Gus Madjid akan diangkat anak oleh ulama Mekah memunculkan sebuah ungkapan, “Kalau bukan karena Mbah Kyai Abdul Madjid maka Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir. Dan kalau bukan karena Nyahi Hasanah, Shalawat Wahidiyah tidak akan lahir di bumi Kedunglo Kediri”.
Sepulang dari Mekah, muncul kebiasaan unik pada diri Agus Abdul Madjid. Beliau yang masih dalam usia tiga tahun (balita), hampir di setiap kesempatan berkata :
“Qul, dawuha sira Nabi Muhammad SAW” (Qul, katakanlah, wahai Nabi Muhammad SAW) sambil meletakkan tangannya di atas kepala. Kebiasaan semacam ini terus berlangsung hingga Beliau Mbah Yahi Madjid memasuki usia tujuh tahun. Kebiasaan lain Beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang suka bergaul dan sangat pendiam. Mbah Nyai Romlah dan Mbakyunya ini pula yang mula pertama mengajari Beliau Mbah Yahi Madjid membaca dan menulis Al-Qur’an.
Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan keistimewaan yang dimiliki terus dibawanya hingga Beliau memasuki usia remaja. Karena sifat pendiam Agus Abdul Madjid inilah hingga tidak ada yang tahu keistimewaan-keistimewaan Beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.
Walaupun Gus Madjid secara lahiriyah nampat tidak istimewa dibandingkan dengan Gus Malik adiknya yang pandai dan sering menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Abdul Malik pula yang bertindak sebagai wakil ayahnya apabila Mbah Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan, hingga tidak sedikit yang menyangka bahwa Gus Maliklah calon pengganti dan penerus ayahnya.
Akan tetapi pada hakikatnya, Mbah Kyai Ma’roef telah mempersiapkan Agus Abdul Madjid sebagai putra mahkota, pengganti dan penerusnya sejak Beliau baru dilahirkan. Terbukti, meski Gus Madjid masih baru berusia dua tahun ada yang mengatakan baru berumur 1,5 tahun, ayah handanya telah membawanya serta pergi haji. Padahal kita semua tahu bagaimana kondisi transportasi dan akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan dan sangat melelahkan. Belum lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh berbulan-bulan lamanya.
Bukti lain bahwa Gus Madjid dipersiapkan sebagai putra mahkota, calon pengganti dan penerus ayah handanya, adalah setiap mendekati bulan haji, Mbah Kyai Ma’roef selalu kedatangan tamu dari kalangan Sayyid dan Sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong Gus Madjid, Mbah Nyahi Hasanah berkata kepada tamunya : “Niki, Ndoro Sayyid yugo kulo, njenengan suwuk, dados tiyang ingkang sholeh atine.” (Ini Tuan Sayyid, njenengan suwuk/ do’akan anak saya agar menjadi orang yang shaleh hatinya).
Pernah, suatu hari saat Mbah Kyai Ma’roef sedang bepergian, datang seorang habib hendak bersilaturrahim. Karena Mbah Kyai Ma’roef tidak ada, si tamu minta dipanggilkan Gus Madjid, katanya akan dido’akan. Karena Gus Madjid sedang bermain dan belum mandi, maka abdi dalem (pembantu) membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui si tamu. “Wah, ini bukan Gus Madjid, tolong bawa Gus Madjid kemari !” kata habib kepda abdi dalem tsb.
Memasuki usia sekolah, Gus Madjid sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah, namun hanya sampai kelas dua. Selanjutnya, Mbah Kyai Ma’roef mengantar Agus Madjid mondok di Jamsaren Solo pada Kyai Abu Amar. Genap tujuh hari di Jamsaren, Agus Madjid dipanggil gurunya, disuruh kembali ke Kedunglo. “Sampun Gus, panjenengan kundur mawon !”, sambil dititipi surat agar disampaikan kepda ayahnya. Gus Madjid menuruti perintah Kyai Abu Amar, meski dengan pikiran penuh tanda tanya kembali ke Kedunglo Kediri. Terdorong oleh jiwa muda yang haus akan ilmu pengetahuan, Agus Madjid kemudian mondok di Mojosari, Loceret, Nganjuk. Namun setelah hari ketujuh, Beliau dipanggil Kyai Muhammad Zainuddin, gurunya.
“Gus, njenengan sampun cukup, mboten usah mondok, kundur kemawon, wonten ndalem kemawon”. (Gus, Anda sudah cukup, tidak usah mondok, pulang saja, di rumah saja). Agus Madjid pun kembali ke Kedunglo dan matur kepada ayahnya, kalau gurunya tidak bersedia memberinya pelajaran. “Wis kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu, kamu aku didik sendiri saja, satu bulan nilainya sama dengan seribu bulan), ujar Mbah Kyai Ma’roef.
Maka setelah empat belas hari mondok di Jamsaren dan Mojosari, gurunya adalah ayahnya sendiri, Mbah Kyai Haji Mohammad Ma’roef RA yang telah mewarisi ilmu dari Mbah Kyai Kholil, Bangkalan Madura. Oleh ayahnya, setiap selesai sholat maghrib, Gus Madjid diajari aneka macam ilmu yang diajarkan di pondok-pondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok pesantren. Sehingga ayahnya pernah berkata kepada adik Gus Madjid, “Madjid iku nggak kalah karo anak pondokan” (Madjid itu tidak kalah dengan anak pesantrenan).
Tak heran kalau pada akhirnya Beliau tumbuh sebagai pemuda yang sangat ‘alim dan wara’. Ibarat padi semakin tinggi ilmunya Beliau semakin tawadhu’ dan pendiam, sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik pendiamannya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan. Tapi itulah keistimewaan Beliau Mbah Madjid yang tidak pernah menammpakan keistimewaannya, karomahnya kepada sesamanya.
Menikah
Ketika Agus Madjid sudah berumur 27 tahun dan hampir menguasai keseluruhan ilmu ayahnya, Beliau semakin nampak dewasa dan matang. Tidaklah aneh kalau banyak gadis yang mengidamkannya. Karena disamping Beliau dikenal sebagai putra kyai ampuh yang masyhur dan makbul doanya, Agus Madjid adalah sosok pemuda ‘alim berwajah "GANTENG" tampan nan rupawan bagai rembulan purnama.
Namun dari sekian gadis, putri-putri kyai yang mendambakan dipersunting oleh Agus Abdul Madjid, akhirnya yang menang adalah dara manis yang sedang beranjak remaja, bernama Ning Shofiyah yang kala itu berusia 16 tahun putri Mbah KH. Moh. Hamzah dengan Ibu Ummi Kulsum, buyut Mbah KH. Mansyur Ra pendiri Kota Tulung Agung yang mendapat tanah perdikan dari Sultan Hamengkubuwono II karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung Agung, dan kini menjadi alun-alun kota Tulung Agung.
Semula, oleh ibunya Agus Madjid dijodohkan dengan sepupunya sendiri yaitu “Ning Zainab” putri Mbah KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo (akhirnya Nyai Zainab dinikahi oleh santri Ponpes Lirboyo, yg bernama Gus Mahrus Ali (KH. Mahrus Ali Ponpes Lirboyo yg timur - berasal dari Cirebon Jabar yang kontras Sholawat Wahidiyah itu, karena ia merasa iri dan dengki serta ada sentimen pribadi. Red). Apalagi Agus Madjid saat ditawari akan dinikahkan dengan saudara sepupunya yang cantik jelita dan pinter itu hanya diam saja. Meski tidak mendapat jawaban yang pasti dari Agus Abdul Madjid, antara pihak Ponpes Kedunglo dan pihak Ponpes Lirboyo sepakat akan menikahkan keduanya.
Kemudian diselenggarakanlah upacara akad nikah putra dan putri kyai yang masih kerabat dekat dan yang sama-sama menantu Mbah KH. Sholeh Banjarmlati Kediri dan sama-2 pernah menjadi santri Mbah Kyai Kholil Bangkalan Madura ini dengan menyembelih lima ekor kambing.
Tetapi entah mengapa, ketika Pak Naib meng-akidi, calon pengantin putra hanya diam saja tidak menjawab. Berkali-kali Pak Naib mengucapkan ijab tetapi tidak mendapat jawaban qobul dari Agus Abdul Madjid. Maka mengertilah kedua orang tuanya termasuk calon mertuanya Mbah KH. Abdul Karim Manaf Lirboyo, kalau Gus Abdul Madjid tidak mau menikah dengan “Nyahi Zainab”, saudara sepupunya tersebut.
Lepas dari perkawinan antara kerabat, Agus Abdul Madjid ditawari kembang dari Tawangsari, Tulung Agung yang sedang mekar-mekarnya oleh Yusuf santri ayahnya yang tak lain adalah paman si gadis. Agus Abdul Madjid setuju dan nontoni (melihat) si gadis yang sedang memetik beberapa kuntum Melati dari balik jendela di bawah menara Masjid Mangunsari Tulung Agung. Si gadis itu tak lain adalah Shofiyah putri ke-7 dari 12 bersaudara.
Pernikahan antara Mbah Kyai Abdul Madjid Ma'rof dengan Mbah Nyahi Shofiyah dikaruniai 14 orang anak.
Keempatbelas putra-putri itu adalah Ning Unsiyati (Almh), Ning Nurul Isma, Ning Khuriyah (Almh), Ning Tatik Farikhah, Agus Abdul Latief, Agus Abdul Hamid, Ning Fauziah (Almh), Ning Djauharatul Maknunah, Ning Istiqomah, Agus Moh. Hasyim Asy’ari (Alm), Ning Tutik Indyah, Agus Syafi’ Wahidi Sunaryo, Ning Khusnatun Nihayah dan Ning Zaidatun Inayah.
Kepribadiannya
Mbah KH. Abdul Madjid Ma'roef QS wa RA mempunyai kepribadian yang sangat mempesona. Menurut penuturan orang-orang yang hidup sezaman dengan Beliau (termasuk kesaksian penulis yg memposting kisah ini, red.), akhlak mulya Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA adalah bi akhlaqi Rasulillah SAW.
Beliau berbadan sedang, dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus mempesona, agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa Beliau Qs wa Ra mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa. Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam bak gua, menunjukkan bahwa Beliau Qs wa Ra seorang yang mempunyai pemikiran yang tajam dan dalam. Di antara kedua matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai pertanda Beliau Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra memiliki otak yang brilian. Tangannya halus dan lembut, selembut hatinya yang pemaaf. Kalau berjalan, Beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah ke bawah. Terkadang Beliau juga menoleh ke kiri dan kekanan untuk melihat situasi dan keadaan jamaahnya.
Mengenai jalannya Mbah Yahi Abdul Madjid Qs wa Ra ini, Kyai Zainuddin Pramu PW Kedunglo Kediri, menuturkan bahwa yang paling mendekati jalannya Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'roef Qs wa Ra adalah Beliau Kanjeng Romo Yahi Abdul Latief Madjid RA, misalnya ketika Beliau mios (berangkat) ke masjid untuk pengajian Al-Hikam dan Kuliah Wahidiyah Ahad pagi.
Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, Beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda ria yang membuat Beliau dan tamunya tertawa. Beliau berbicara dengan jawami’ kalam. Artinya, kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena Beliau mempunyahi kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan yang dituturkannya. Beliau mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Beliau memperhatikan sungguh-sungguh kepada orang yang berbicara dengannya (nguwongke, istilah jawanya).
Di samping itu Beliau dikenal sangat dermawan. Tak jarang tamunya yang sowan dan nampak tidak punya ongkos buat pulang, disangoni (diberi ongkos) oleh Mbah Yahi Madjid. Pernah Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra memberi uang belanja kepada seorang pengamal (sebutan untuk pengamal Shalawat Wahidiyah) yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu karamah Beliau, ketika si tamu pamit pulang Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra memberikan jubahnya kepada si tamu.
Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakainya sekali tidak dipakainya lagi. Karena tak heran kalau Beliau sering mencuci pakainnya sendiri bahkan juga menguras dan mengisi jeding-nya (bak mandi) sendiri. Dalam masalah ini Beliau pernah mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit. Bila marah, Beliau cuma diam. Hanya roman mukanya sedikit berubah. Kalau Beliau mau berbicara pertanda bahwa marahnya sudah hilang dan seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Perihal marahnya Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA ini, Mbah Nyahi Sofiyah sebagai orang terdekat yang telah menemani Beliau lebih dari 40 tahun menuturkan, “Kalau Beliau kurang berkenan kepada saya, atau ada kesalahan yang telah saya lakukan, tetapi saya kurang menyadarinya, Beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah tidak seperti biasanya. Kalau Mbah Yahi Qs wa Ra sudah demikian, saya bingung dan sedih sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di mata Beliau ? Kemudian satu persatu saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga Beliau tidak menegur saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan yang telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu di mana letak kesalahan saya sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian Beliau Qs wa Ra menegur saya dan selanjutnya seperti tak pernah terjadi apa-apa.” Demikian kenang Mbah Nyai Sofiyah.
Dari sini kita tahu kalau kehidupan rumah tangga Beliau jauh dari perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing supaya "ROYOKAN SALAH" bukan royokkan bener dan harus sibuk mengoreksi kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra, yang sering berfatwa demikian dan agar para pengamal lebih sering nggrayahi githoke dewe (mengoreksi kesalahan sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain, ternyata terlebih dahulu diterapkan pada keluarga Beliau Qs wa Ra sendiri.
Kehidupan rumah tangga Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra dan Mbah Nyahi Ra adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis, sejahtera dan sangat bahagia bagaikan di Surga. Sebagai suami, Mbah Yahi Qs wa Ra adalah sosok suami yang romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raga. Meski sebagai putra kyai, Mbah Yahi Madjid tidak segan-segan menghibur istrinya dengan mengajaknya menonton pasar malam, seraya menggandeng tangan Mbah Nyahi Sofiyah dengan mesranya. Bahkan Beliau Mbah Madjid Qs wa Ra juga pernah menggendong Mbah Nyahi apabila menjumpai jalan licin atau ada kubangan-kubangan di tengah jalan. “Kalau kami jalan berdua, Mbah Yahi Madjid itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari bersama-sama”, kenang yang dituturkan Mbah Nyahi Shofiyah saat menceritakan kesetiaan, keharmonisan dan kemesraannya dengan Mbah Yahi Abdul Madjid Qs wa Ra kepada penulis kisah dan petuah ini.
Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yahi Madjid QS wa RA, sebagaimana yang dikatakan Mbah Nyahi RAH, Beliau adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Beliau mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah Nyahi atau baju putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi. Beliau selalu membantu Mbah Nyahi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah Nyahi akan memasak sayur santan, Mbah Yahi yang memarut kelapanya dan Mbah Nyahi yang membuat bumbunya. Mbah Yahi Madjid juga membantu mengasuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil. Memandikan, ndandani (berhias) bahkan menyuapi putra putinya.
Kalau persediaan padi hasil panen habis, pernah suatu ketika Mbah Yahi Madjid memanen sayuran kangkung yang Beliau tanam sendiri, lalu dijual ke pasar oleh Mbah Nyahi Sofiyah untuk dibelikan beras. Tak jarang Beliau sekeluarga hanya makan sayur kangkung saja. Dalam kehidupan rumah tangga Mbah Yahi Madjid dulu, tidak mempunyai apa-apa sama sekali sudah biasa. Dan kondisi semacam itu diterima dengan tabah, sabar, tawakkal dan ikhlas oleh Mbah Nyahi Sofiyah. Melihat kondisi Mbah Yahi Madjid sekelurga yang sangat sederhana dan apa adanya tersebut, Pak Haji Alwan Bangil Pasuruhan merasa kasihan dan berkata matur kepada Mbah Yahi Abdul Madjid Qs wa Ra, “Mbah Kyai Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang Beliau inginkan, Mbah Kyai Ma’roef tinggal berdo’a memohon kepda Allah langsung diijabahi”.
Tapi apa tanggapan Mbah Yahi Madjid Qs wa Ra ? “Pak Haji Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan saya ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam hati saja langsung diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau lakukan”. Pernyataan Mbah Yahi Madjid QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan kehidupan keseharian Rasulullah SAW sebagai makhluk utama dan terkasih di sisi Allah SWT yang hidupnya sangat sederhana, sehignga Malaikat Jibril menawarkan Rasulullah SAW hendak mengubah gunung menjadi emas, tapi Beliau Rosululloh SAW mboten kerso (tidah mau).
“Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar, aku bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku kenyang, aku bisa bersyukur memuji Tuhanku menjdi hamba Allah yang benar-2 bersyukur”,
itulah jawaban seorang manusia termulia di muka bumi ini beliau Rosululloh SAW, yang diwarisi oleh pribadi yang mulya Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'roef Mu'allif Sholawat Wahidiyah Qs wa Ra. Al-Ghouts Fii Zamanihi.
Mbah Yahi Madjid QS wa RA saat awal menyusun Shalawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau prihatin karena urusan-urusan penting yang sedang di hadapinya. Keprihatinan Beliau Mbah Yahi Madjid bukanlah berkaitan dengan masalah khusus mengenai diri pribadinya, melainkan yang berhubungan dengan orang lain, berhubungan dengan ummat masyarakat jami’al ‘alamin. Hal lain mengenai Beliau Qs wa Ra adalah setiap orang yang memandangnya akan merasakan kesejukan yang merasuk ke dalam hati sanubarinya. Dan siapa pun yang Beliau Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'ruf Qs wa Ra pandang (nadhroh) hatinya pasti bergetar kearah kesadaran kepada Alloh wa Rosuulihi SAW.
Shalawat Wahidiyah
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah, Beliau adalah seorang aktifis NU. Ketika usia remaja, Beliau aktif di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya "sepak bola". Jadi meskipun Beliau terlihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya Beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski Beliau sudah menikah. Beliau pernah menjabat sebagai pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Namun setelah Beliau diberikan amanah dan tugas khusus oleh beliau Rasulullah SAW untuk menyampaikan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya (1963) ke pada umat masyarakat, Beliau tidak aktif lagi di organisasi NU.
Pada tahun 1964, Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'ruf Qs wa Ra menyelenggarakan resepsi ulang tahun Shalawat Wahidiyah pertama sekaligus khitanan Agus Abdul Hamid dan selapan harinya Ning Tutik Indiyah dengan mengundang Pembesar Ulama dari berbagai daerah Jawa Timur, di samping keluarga dan kaum muslimin lainnya. Hadir sebagai tamu kehormatan, antara lain: KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rois ‘Am NU dan Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambah Beras, Jombang; KH. Machrus Ali, Syuriah NU Wilayah Jatim dan Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kediri; KH. Abdul Karim Hasyim (Putra Pendiri NU) Pengasuh Pesantren Tebu Ireng, Jombang; dan KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) Putra pendiri Ponpes Al Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Kesempatan baik tersebut dipakai oleh Mbah Yahi Madjid untuk menyiarkan Shalawat Wahidiyah kepda segenap hadirin.
“Nuwun sewu hadirin hadirot, kula gadah amalan Shalawat Wahidiyah. Punapa Panjenengan kersa kula ijazahi ?” (Mohon maaf, saya mempunyai amalan Shalawat Wahidiyah. Apakah Hadirin bersedia saya beri ijazah ?), tutur Mbah Yahi Madjid dalam sambutannya. Spontan yang hadir menjawab “kerso” (bersedia). Di antara hadirin, ada yang berdiri dan ada yang setengah berdiri, seakan terpanggil dan tergugah dalam hatinya. Saat itu pula KH. Wahab Hasbullah spontan berdiri sambil mengacungkan tangannya dibarengi ucapan yang lantang: “Qobiltu awwalan. Qobiltu awwalan.” (Saya yang menerima pertama).
Sementara itu KH. Wahab Hasbullah dalam sambutannya, antara lain mengatakan, “Hadirin.. ilmunya Gus Madjid dalam sekali, ibaratnya sumur begitu, sedalam sepuluh meter. Sedang saya hanya memiliki ukuran satu koma dua meter saja. Sholawatnya Gus Madjid ini akan saya amalkan..”.
Setelah itu Mbah Yahi semkin giat dalam menyiarkan Shalawat Wahidiyah. Karena itulah Beliau mulai dijahui oleh kawan-kawannya di syuriah, karena ada beberapa yang merasa takut, kalau-kalau Shalawat Wahidiyah akan jadi saingan berat NU. Maka ketika beberapa ulama utusan Partai NU cabang Kediri bersama-sama silaturrahim kepada Beliau Mbah Madjid mohon penjelasan tentang Shalawat Wahidiyah, Beliau pun menjelaskannya dengan jawaban yang singkat dan tepat. Beberapa pertanyaan yang dilontarkan di antaranya, “Sholawat Wahidiyah itu prinsipnya apa ? Dasar apa dan menurut qoul yang mana ?”
Dengan tegas, Beliau menjawab, “Sholawat Wahidiyah itu susunan saya sendiri”. Para tamu, kembali bertanya, “Apa benar, Kyai mengatakan kalau orang membaca Sholawat Wahidiyah itu sama dengan ibadah satu tahun ?”.
“Oh.. bukan begitu. Saya hanya mendapat alamat ghoib (pengalaman sepiritual/rohani), kalau membaca sholawat Allahumma kamaa anta ahluh… 1 kali saja itu nilainya sama dengan ibadah setahun. Begitu itu, ya tidak saya jadikan hukum. Ada lagi keterangan lain, orang membaca Sholawat Badawi sekali sama saja dengan khatam dalail sepuluh kali”, jawab Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA dengan tegas dan berani. Para tamu masih terus penasaran dan bertanya, “Apa benar Kyai, kalau tidak mengamalkan Shlawat Wahidiyah itu tidak bisa ma’rifat ? Itu kan namanya menjelek-jelekan thoriqoh. Menafikan thoriqoh ?” “Bukan begitu. Masalah jalannya ma’rifat kepada Alloh itu banyak”, jawab Mbah Yahi. Mendengar jawaban Mbah Yahi Madjid yang tegas dan lugas tersebut, kemudian para tamu tidak bertanya kembali.
Suatu ketika Mbah Yahi Madjid Mualif Sholawat Wahidiyah memberikan penjelasan mengenai Sholawat Wahidiyah di dukuh Mayam Desa Kranding, Kec. Mojo, Kab. Kediri, di hadapan para kyai se-kecamatan Mojo Selatan, di antara yang hadir adalah Almaghfurllah KH. M. Djazuli Pengasuh Ponpes Al Falah Ploso, dalam khutbah iftitah-nya Beliau Mbah Yahi Madjid Muallif Sholawat Wahidiyah mengucapkan: “Alhamdulillaahi aataanaa bilwahidiyyati bi fadhli robbinaa..”
Sebelum Wahidiyah disiarkan secara umum, Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'ruf Qs wa Ra mengirimkan Shalawat Wahidiyah yang ditulis tangan oleh K. Muhaimin (Alm) santri Kedunglo kepada para ulma Kediri dan sekitarnya disertai surat pengantar yang Beliau Mbah Yahi Madjid tandatangani sendiri. Sejauh itu tak satupun di antara para kyai yang dikirimi shalawat tsb, mempermasalahkan Shalawat Wahidiyah.
“Semua doa sholawat itu baik”. Begitu komentar para kyai waktu itu.
Walaupun pada akhirnya muncul beberapa kyai atau ustadz yang kurang sependapat terhadap adanya (lahirnya) Shalawat Wahidiyah, namun oleh Mbah Yahi Madjid justru mereka yang tidak atau kurang sependapat dengan adanya Shalawat Wahidiyah dipandang sebagai kawan seperjuangan. Sebab dengan adanya mereka yang tidak sependapat dengan Shalawat Wahidiyah dan ajarannya mendorong pengamal jadi lebih giat dan bersemangat dalam bermujahadah dan sesungguhnya mereka yang tidak sependapat itu turut menyiarkan Wahidiyah dengan cara dan gaya mereka sendiri-sendiri. Karena dengan adanya silang pendapat atau salah faham tersebut, orang yang tadinya belum tahu Shalawat Wahidiyah menjadi tahu. Dalam satu sisi mereka yang kontras besar jasanya ikut andil dalam Perjuangan Fafirruu Ilallah wa Rasuulihi SAW.
Begitu mulia akhlaq Hadratul Mukarram Mbah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS wa RA, Al-Ghouts Fii Zamanihi yang harus kita tauladani ...Amiin ! - Al Faathihah….- Mujahadah !
Ghoutsu Zamanihi
DAWUH MBAH YAHI ABDUL MADJID QS WA RA YANG AMAT TERKENAL : "AL-GHOUTS ITU IBARAT SEPERTI RAJA ATAU RATU, MENINGGAL GANTI-MENINGGAL GANTI".
Menurut penjelasan Kyai Baidhowi, Mbah Yahi Abdul Madjid QS wa RA diangkat menjadi “Ghouts” oleh Allah SWT sebelum Beliau dipercaya oleh Rasulullah SAW mentaklif Sholawat Wahidiyah, jadi antara tahun 1959 – 1963. Mbah Yahi QS wa RA sendiri pada pertengahan tahun 1961 sering dawuh menganjurkan kepada penderek (pengikut) dekatnya agar mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman.
“Monggo sami madosi Ghoutsu Hadzaz Zaman, manggene wonten pundi?” (mari bersama-sama mencari Ghoutsu Hadzaz Zaman, keberadaannya di mana?)
Mendengar dawuh Mbah Yahi seperti itu, Mbah KH. Mubasyir Mundir (Alm) salah seorang yang dekat dengan Mbah Yahi, yang sudah masyhur kewaliannya di Jawa Timur berangkat ke Ponpes Tebu Ireng-Jombang yang diasuh oleh KH. Abdul Karim Hasyim (cucu Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ary RA) bermaksud riyadhah mencari “Ghoutsu Zaman”. Rencananya Mbah Mundir (panggilan akrab KH. Mubasyir Mundir)akan riyadhah dengan puasa mutih selama 40 hari. Namun baru seminggu, beliau sudah menerima alamat (isyarah bathiniyah) bahwa: KH. Abdul Madjid Ma’roef adalah “Quthbul Aqthob Hadzaz Zaman”. Akhirnya rencana riyadhoh selama 40 hari beliau batalkan. Selanjutnya Mbah Mundir kembali ke Kedunglo. Sesampainya di Kedunglo dan berjumpa denagn Mbah Yahi QS wa RA, tanpa berkata sepatah kata pun, Mbah Mundir langsung tersungkur di hadapan Mbah Yahi.
“Gus, mbok ya sampun ngoten, biasa-biasa kemawon” (Gus, tidak usah seperti itu, yang wajar-wajar saja), tutur Mbah Yahi.
Setelah peristiwa tersebut, Mbah Mundir berpesan kepada putra kesayangannya yakni Agus Thoha Yasin, “Ha.. (Thoha) nanti kalau ada tamu jangan dibukakan pintu, tapi kalau tamunya Kyai Madjid, persilahkan masuk”.
Bersamaan itu, masih menurut Kyai Baidlowi, keponakan Mbah mundir, Agus Muhaimin Abdul Qodir dalam kondisi terjaga dihadiri Nabiyullah Khidir AS, yang intinya menyampaikan bahwa Beliau Mualif Shalawat Wahidiyah adalah Qathbul Aqthob. Kyai Agus Muhaimin kurang percaya, seraya bertanya: “Masih banyak ulama yang ‘allamah, kenapa kok Pak Kyai Abdul Madjid yang menduduki jabatan Shulthonul Auliyaa?” Nabi Khidzir menjawab, “Tidak ada pilihan lain ‘indallah selain dia”. Setelah jawaban itu, nabi Khidzir pun menghilang.
KH. Hamim Djazuli (Gus Mik) yang kondang kewaliannya, mengakui kalau Muallif Shalawat Wahidiyah adalah “Shulthonul Auliyaa” seperti yang disampaikannya saat beliau memberi kata sambutan dalam acara khitanan dan ulang tahun pertama Shalawat Wahidiyah. Di antara sambutannya, “Para hadirin, siapakah sebenarnya Agus Abdul Madjid itu?” Karena tak satu pun dari yang hadir menjawab, maka beliau meneruskan sambutannya, “Beliau adalah Roisul ‘Arifin. Hadirin, seumpama Panjenenganipun Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani masih hidup, saya yakin akan juga ikut mengamalkan shalawat Agus Abdul Madjid ini”.
Di sisi lain, setelah KH. Djazuli Utsman, ayahanda Gus Mik juga dengan sungguh-sungguh mengamalkan Shalawat Wahidiyah. Konon katanya, setiap melaksanakan shalat fardhu dan mengamalkan Shalawat Wahidiyah, Mbah Yahi Madjid QS wa RA nampak di hadapannya. Kejadian tersebut terus berlangsung hingga tujuh hari. Sementara itu Ibu Nyai Djazuli mengungkapkan, ketika membaca Shalawat Wahidiyah mendengar suara ghaib yang menyatakan dengan jelas bahwa Kyai Abdul Madjid adalah Ghautsu Hadzaz Zaman, berulang-ulang sampai tiga kali. Kemudian pengalaman bathin tersebut disampaikan kepada Kyai Djazuli Ustman, beliau juga menceritakan pengalaman yang sama. Akhirnya beliau berdua memutuskan sowan ke Kedunglo.
Keesokan harinya, sekitar jam tujuh pagi Kyai Djazuli Ustman beserta Ibu Nyai bersiap hendak pergi ke Kedunglo dengan membawa sekarung beras dan rencananya akan mengendarai dokar. Tetapi belum sampai berangkat, Mbah Yahi beserta Mbah Mundir dan Bapak Abdul Jalil Jaserman telah tiba lebih dulu di Ponpes Ploso (tempat tinggal Kyai Djazuli Ustman).
Selasa Kelabu di Bulan Rajab
“Romo Yahi Abdul Madjid Ma'ruf Qs wa ra kurang sehat….” “Romo Yahi lagi gerah…”
BERSAMBUNG.........!!!.
BOGOR, 09 PEBRUARI 2015
DIPOSTING OLEH AHMAD DIMYATHI, S. Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar