Selasa, 17 November 2020

BAGIAN KETIGAPERJUANGAN WAHIDIYAH MBAH K.H. ABDOEL MADJID MA’ROEF QS WA RA

KISAH INSPIRATIF
Biografi MBAH KH. ABDUL MADJID MA'RUF Muallif Sholawat Wahidiyah QS wa RA, Al-Ghouts Fii Zamanihi RA

BAGIAN KETIGA
PERJUANGAN WAHIDIYAH 
MBAH K.H. ABDOEL MADJID MA’ROEF QS WA RA

A. Kelahiran Sholawat Wahidiyah

1. Latar Belakang Lahirnya Sholawat Wahidiyah

Kerusakan mental manusia di tahun 1960-an telah diambang pintu kehancuran, dilanda arusnya nafsu hingga manusia tenggelam dalam lautan munkarat akibat dari kebodohannya tentang keimanan (kesadaran) kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW.

Kehidupan manusia sudah tidak lagi mengindahkan nilai-nilai ajaran agama, sehingga melahirkan manusia-manusia yang amoral (tidak berakhlakul karimah). Di tengah kehidupan manusia yang kehilangan pegangan hidupnya itulah, tampil seorang yang sangat perhatian akan kelangsungan keselamatan kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Beliau adalah Abdoel Majid Ma’roef, seorang kiai yang sangat bersahaja dan tawadhu’.

Keprihatinan beliau terhadap kondisi kehidupan manusia yang semakin jauh dari Allah SWT dibuktikan dengan riyadhoh yang begitu luar biasa beliau lakukan. Segala jenis dan macam doa beliau amalkan untuk memperbaiki atau membangun mental (akhlak) manusia yang hampir di jurang kehancuran. Karena kesungguhan Mbah K.H. Abdoel Majid Ma’roef RA dalam bermunajat kepada Allah SWT, sekitar awal bulan Juli 1959, beliau menerima suatu alamat ghaib ---istilah beliau--- dalam keadaan yaqudhotan (sadar dan terjaga), bukan dalam keadaan mimpi. Maksud dari alamat ghaib tersebut adalah “supaya ikut berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalur bathiniyah”.

Setelah menerima alamat ghaib tersebut beliau sangat prihatin, kemudian beliau mencurahkan atau memusatkan kekuatan bathiniyah, bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah SWT, memohon bagi kesejahteraan umat masyarakat, terutama perbaikan akhlak dan kesadaran kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Doa-doa atau amalan yang belaiu perbanyak adalah doa sholawat, seperti; Sholawat Badawiyah, Sholawat Nariyah, Sholawat Munjiyat, Sholawat Masisiyah dan sholawat yang lainnya. Boleh dikatakan, bahwa hampir seluruh doa yang beliau amalkan untuk memenuhi maksud alamat ghaib tersebut adalah doa sholawat.

Dimanapun dan kapanpun beliau berada, senantiasa beraudensi (berhubungan) dengan Allah SWT dengan membaca sholawat, sehingga tidak ada waktu sedetik pun terlewatkan tanpa berhubungan kepada Allah SWT. Ketika bepergian dengan sepeda ontel (kayuh) beliau memegang setir sepeda dengan tangan kiri, sedang tangan kanan beliau masukkan ke dalam saku baju untuk memutar tasbih. Untuk amalan Sholawat Nariyah misalnya, beliau sudah terbiasa mewiridkannya dengan bilangan 4444 kali dalam tempo lebih kurang 1 (satu) jam. Untuk meningkatkan taqarrubnya kepada Allah SWT disamping riyadhoh-riyadhoh yang telah dilaksanakan, beliau juga melakukan puasa-puasa sunah terus-menerus.[1]

Tenggat empat tahun setelah melakukan riyadhoh dan munajat dengan penuh kesungguhan bagi keselamatan umat manusia, pada awal tahun 1963 beliau menerima alamat ghaib lagi seperti yang beliau terima pada tahun 1959. Alamat yang kedua ini bersifat peringatan terhadap alamat ghaib yang pertama, yaitu supaya cepat-cepat ikut berusaha memperbaiki akhlak masyarakat melalui saluran bathiniyah. Maka beliau pun meningkatkan mujahadahnya, bermunajat kepada Allah SWT, sampai-sampai kondisi fisik beliau seringkali terganggu (sakit-sakitan). Namun, hal itu tidak mengurangi semangat beliau dalam bertaqarrub kepada Allah SWT. Bahkan beliau terus meningkatkan perjuangan bathiniyahnya.

Tidak berselang lama dari alamat ghaib yang kedua itu ---masih di tahun 1963---beliau menerima alamat ghaib dari Allah SWT untuk yang ketiga kalinya. Alamat yang ketiga ini jauh lebih keras lagi dari alamat yang pertama dan kedua. Berikut penuturan beliau dalam bahasa Jawa: “Malah kulo dipun ancam menawi mboten enggal-enggal nglaksanaaken” (Bahkan saya diancam kalau tidak cepat-cepat melaksanakan). “Saking kerasipun peringatan lan ancaman, kulo ngantos gemeter sak bakdanipun meniko” (Karena kerasnya peringatan dan ancaman, saya sampai gemetar sesudah itu).

Selanjutnya beliau pun prihatin lagi dan terus meningkatkan mujahadahnya, memohon kehadirat Allah SWT. Dalam situasi bathiniyah yang senantiasa bertawajjuh (mengarah) kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW itu ---masih di tahun 1963--- beliau menyusun suatu doa sholawat. “Kulo lajeng ndamel oret-oretan” (Saya lantas membuat coret-coretan), istilah beliau, maka tersusunlah Sholawat Ma’rifat (Allohumma kama anta ahluh dst.).[2] 

Penjelasan secara rinci dan lengkap tentang penyusunan Sholawat Wahidiyah akan dibahas pada bab lain.
Betapa besar perhatian dan kecintaan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA kepada umat manusia. Saking cinta dan kasihnya, beliau rela untuk melakukan riyadhoh yang begitu berat, lahiriyah dan bathiniyah beliau benar-benar hanya difokuskan untuk bermujahadah, bermunajat kepada Allah SWT guna mengemban misi yang begitu mulia dari Allah SWT untuk menyelamatkan akhlak manusia dari kebinasaan.

2. Tahapan Penyusunan Sholawat Wahidiyah

Penyusunan Sholawat Wahidiyah dilakukan secara bertahap oleh muallifnya. Hal ini tentu mengandung sirri atau rahasia-rahasia yang kita tidak mengetahui secara pasti, disamping itu penyempurnaan penyusunan Sholawat Wahidiyah disesuaikan dengan situasi dan kondisi umat manusia di dunia.

Susunan Sholawat Wahidiyah ---seperti susunan sekarang ini--- diawali dengan tersusunnya Sholawat Ma’rifat yang disusun pada tahun 1963. Susunan Sholawat Ma’rifat adalah sebagai berikut :

Dalam Sholawat Ma’rifat tersebut belum ada kalimat Yaa Allah setelah kalimat tamaama maghfiratika dan seterusnya seperti seperti yang ada dalam susunan Sholawat Wahidiyah sekarang ini.[3]

……………………………………………...…………..[4]
Beberapa waktu kemudian ---masih di tahun 1963--bertepatan dengan bulan Muharram, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menyusun sholawat lagi, yaitu :

Sholawat tersebut kemudian diletakkan pada urutan pertama dalam sususan Sholawat Wahidiyah. Karena lahirnya sholawat ini pada bulan Muharram, maka Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menetapkan bulan Muharram sebagai bulan kelahiran Sholawat Wahidiyah yang diperingati ulang tahunnya dengan pelaksanaan Mujahadah Kubro pada setiap bulan tersebut.[5]

Pada pengajian kitab Al-Hikam ---dilaksanakan setiap Ahad pagi di masjid Kedunglo--- Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menjelaskan tentang Haqiqotul wujud sampai pengertian dan penerapan Bihaqiqotil Muhammadiyah yang di kemudian hari disempurnakan dengan penerapan Lirrasul Birrasul. Saat itulah ---masih di tahun 1963--- tersusun sholawat yang ketiga :

Sholawat ini disebut Sholawat Tsaljul Qulub (Sholawat Pendingin Hati). Nama lengkapnya adalah Sholawat Tsaljul Ghuyub Litabriidi Harorotil Qulub (Sholawat Salju dari alam ghaib untuk mendinginkan hati yang panas).[6]
Ketiga rangkaian sholawat yang sudah tersusun tersebut diawali dengan surat Al-Fatihah, dan diberi nama Sholawat Wahidiyah. Kata Wahidiyah diambil sebagai tabarrukan (mengambil berkah) salah satu asmaul husna yang terdapat dalam sholawat yang pertama, yaitu Waahidu artinya Maha Satu. Satu tidak bisa dipisah-pisahkan lagi, mutlak satu azlan wa abadan. Satu bagi Allah tidak seperti satunya makhluk. Para ahli mengatakan, bahwa di antara khowas (hasiat) al-Waahidu, adalah menghilangkan rasa bingung, sumpek, resah/gelisah dan rasa takut. Barang siapa membacanya dengan sepenuh hati dan khudhu’, maka dia dikaruniai oleh Allah SWT tidak mempunyai rasa takut/khawatir kepada makhluk, dimana takut kepada makhluk itu adalah sumber dari segala balak/bencana di dunia dan di akhirat. Dia hanya takut kepada Allah SWT saja. Barang siapa memperbanyak dzikir al-Waahid al-Ahad atau Yaa Waahid Yaa Ahad maka Allah SWT membuka hatinya untuk sadar bertauhid, memahaesakan Allah SWT (sadar Billah).

Pada tahun 1963 diadakan pertemuan yang diikuti oleh para ulama/kiai dan tokoh masyarakat yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah dari Kediri, Tulungagung, Blitar, Jombang dan Mojokerto bertempat di Musholla KH. Abdoel Djalil Jamsaren Kediri. Musyawarah dipimpin langsung oleh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA. Di antara hasil dari musyawarah adalah susunan kalimat yang akan ditulis dalam lembaran Sholawat Wahidiyah, termasuk adanya kalimat garansi atau jaminan atas usulan beliau sendiri dan disetujui oleh peserta musyawarah. Kalimat jaminan itu berbunyi, “Menawi sampun jangkep 40 dinten mboten wonten perubahan manah, kinging dipun tuntut dunyan wa ukhron” (Apabila sudah genab 40 hari tidak ada perubahan hati, boleh dituntut dunia dan akhirat”).
Menjelang peringatan ulang tahun lahirnya Sholawat Wahidiyah yang pertama (Eka Warsa) pada bulan Muharram 1964 Lembaran Sholawat Wahidiyah mulai dicetak pertama kalinya sebanyak 2.500 lembar dengan susunan sebagai berikut :

Al-Fatihah ………
Allahumma yaa waahidu yaa ahad …….
Allahumma kamaa anta ahluh ………
Yaa syafi’al kholqis sholatu wassalam ………

Dalam lembaran ini juga dilengkapi dengan keterangan tentang cara pengamalannya dan juga kalimat garansi seperti di atas.[7]

Setelah Lembaran Sholawat Wahidiyah beredar secara luas di masyarakat, disamping banyak yang menerima, juga tidak sedikit yang menentangnya /mengontrasnya. Kebanyakan alasan para penentang adalah adanya kalimat jaminan seperti di atas. Mereka memberikan penafsiran tentang garansi dengan pemahaman yang keliru. Mereka beranggapan bahwa “Barang siapa telah mengamalkan Sholawat Wahidiyah selama 40 hari dijamin masuk syurga”. Sebenarnya kalimat garansi tersebut merupakan suatu ajaran atau bimbingan agar pengamal Wahidiyah meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesuatu hal yang kita lakukan dengan segala konsekuensinya atau bahasa lainnya adalah “berani berbuat berani bertanggung jawab”.[8]

Setelah peringatan ulang tahun Sholawat Wahidiyah Pertama, di Kedunglo diadakan Asrama Wahidiyah I yang diikuti oleh kiai dan tokoh agama dari Kediri, Blitar, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Malang, Madiun dan Ngawi. Dalam asrama inilah lahir kalimat nida’ “Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh”. Untuk melengkapi amalan Sholawat Wahidiyah yang sudah ada kalimat nida’ tersebut dimasukkan dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah dan tidak ada perubahan sampai tahun 1968.[9]
Dalam Asrama Wahidiyah II (5-11 Oktober 1965) Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dalam Kuliah Wahidiyahnya menyampaikan tentang Ghoutsu zaman. Pada saat itulah lahir do’a :

Bacaan tersebut merupakan suatu jembatan emas yang dapat menghubungkan manusia yang berlumur dosa dan terbelenggu nafsu kepada Ghautsu Hadzazzaman RA untuk sadar, ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Pengamal Wahidiyah menyebutnya “Istighosah”. Kalimat istighosah ini tidak langsung dimasukkan ke dalam rangkaian Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat, tetapi para pengamal Wahidiyah yang sudah agak lama dianjurkan untuk mengamalkannya terutama dalam mujahadah-mujahadah khusus.[10]

Pada tahun 1965 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA memberi ijazah lagi berupa kalimat “Fafirruu Ilalloh” dan kalimat “Waqulja al-haqqu wazahaqol baathil innal baatila kaana zahuuqo”. Pada saat itu, dua kalimat tersebut juga belum dimasukkan dalam rangkaian pengamalan Sholawat Wahidiyah, tetapi dibaca oleh imam dan ma’mum dengan bersamaan pada setiap akhir dari bacaan do’a.

Pada tahun 1968 lahir kembali sebuah sholawat :
Yaa robban ...

Pada tahun 1971, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) di negara kita, lahirlah sholawat :
Yaa Syafi’al Kholqi ….

Sholawat ini kemudian dimasukkan ke dalam Lembaran Sholawat Wahidiyah diletakkan sebelum kalimat “Yaa Robbanallohumma Sholli Sallimi”.
Pada tahun 1973 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menambah do’a :
Allahumma baarik ……….

(belum ada kalimat Yaa Allah).

Di tahun yang sama bacaan Fafirruu Ilalloh” dirangkaikan dengan kalimat “Waqulja al-haqqu wazahaqol baathil innal baatila kaana zahuuqo yang didahului dengan do’a :
Allahumma bihaqqis ………

Pada tahun 1976 mulai dilaksanakan nida’ berdiri menghadap empat arah (barat, utara, timur, dan selatan) dengan membaca kalimat Fafirruu Ilalloh pada saat mujahadah dalam rangka peletakan batu pertama Masjid Desa Tanjungsari (Masjid KH. Zainal fanani).[11]

Pada tahun 1978 Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA menambah do’a “Allahumma Baarik fii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah” sesudah kalimat “Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah”.

Tahun 1981 do’a Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah ditambah kalimat Yaa Allah dan do’a Allahumma Baarik fii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah diubah menjadi Wafii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah. Sehingga rangkaiannya menjadi Allahumma Baarik Fiima Kholakta Wahadzihil Baldah Yaa Allah Wafii Haadzihil Mujahadah Yaa Allah.

Pada tahun 1980 dalam Sholawat Ma’rifat ada tambahan kalimat Yaa Allah setelah kalimat tamaama maghfiratika sehingga kalimatnya menjadi tamaama maghfiratika yaa Allah dan seterusnya.

Pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1401 /2 Mei 1981 Lembaran Sholawat Wahidiyah yang beredar di masyarakat diperbarui dengan susunan yang sudah lengkap disertai dengan petunjuk cara pengamalannya, disertai juga dengan Ajaran Wahidiyah serta keterangan tentang ijazah Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA secara mutlak. Susunan Lembaran Sholawat Wahidiyah seperti itu tidak ada perubahan sampai sekarang kecuali beberapa kalimat dalam penjelasan keterangan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aturan bahasa.[12] (Lihat Lembaran Sholawat Wahidiyah yang ditulis dari tahun ke tahun).

B. Ajaran Wahidiyah

Ajaran Wahidiyah adalah bimbingan praktis lahiriyah dan batiniyah di dalam melaksanakan tuntunan Rasulullah SAW, meliputi bidang syari’at dan bidang hakikat yang mencakup peningkatan iman, pelaksanaan Islam dan perwujudan ihsan serta pembentukan akhlakul karimah.

Kemudian yang dimaksud dengan peningkatan iman yaitu peningkatan menuju kesadaran atau ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Selanjutnya yang dimaksud dengan pelaksanaan Islam adalah realisasi daripada ketaqwaan kepada Allah SWT. Sedangkan yang dimaksud dengan perwujudan dari ihsan adalah merupakan manifestasi daripada iman dan Islam yang sempurna.

Yang dimaksud dengan bimbingan dalam memanfaatkan potensi lahiriyah yang ditunjang oleh pendayagunaan potensi batiniyah yang seimbang. Jadi bimbingan praktis tersebut meliputi hablun minallah yaitu hubungan manusia kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW dan hablun minannas yaitu hubungan manusia dengan manusia sebagai insan sosial, yang meliputi hubungan terhadap keluarga, terhadap bangsa, negara dan agama, terhadap sesama umat manusia serta hubungan manusia terhadap makhluk hidup dan lingkungan.[13]

Ajaran Wahidiyah meliputi lima macam, yaitu sebagai berikut :

LILLAH BILLAH
LIRROSUL BIRROSUL
LILGHOUTS BIL GHOUTS
YUKTI KULLADZI HAQQIN HAQQOH
TAQDIMUL AHAM FAL AHAM TSUMMAL ANFA’ FAL ANFA’

C. Mujahadah

1. Pengertian Mujahadah

Jihad atau Mujahadah yang berasal dari kata jahada, yujaahidu mempunyai makna sikap yang bersungguh-sungguh untuk mengerahkan seluruh potensi diri untuk mencapai suatu tujuan atau cita-cita. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

“Dan barang siapa berjuang sekuat tenaga (jahada) sesungguhnya ia telah berusaha (yujaahidu) untuk dirinya sendiri” (QS. Al-‘Ankabut [29] : 6)[14]

“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan memberikan jalan baginya”. (QS. Al-‘Ankabut [29] : 69) FOOT NOTE 15 (IBID. H. 638

Sedangkan mujahadah menurut ahli hakikat atau tasawuf adalah sebagai berikut :

“Menurut ahli hakikat atau tasawuf jihad adalah memerangi nafsu yang memerintahkan kejelekan (nafsu yang menjerumuskan) dengan memaksa perkara yang berat menurut nafsu itu”. (Jami’ul Ushul : 54)

“Mujahadah ialah menentang nafsu. Menurut sebagian ulama mengatakan, mujahadah itu menentang nafsu dari semua keinginan” (Jami’ul Ushul : 154)

“Nabi SAW bersabda: Yang dinamakan mujahid ialah orang yang menentang nafsu diarahakan untuk taat atau ibadah kepada Allah”. (Jami’ul Ushul : 154)

Kemudian yang dimaksud mujahadah dalam Wahidiyah adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pengamal Wahidiyah dengan mengamalkan Sholawat Wahidiyah menurut cara-cara yang telah ditentukan untuk memerangi hawa nafsu untuk diarahkan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW.

2. Fungsi Mujahadah di dalam Alah SWT adalah satu sebab yang menentukan untuk wushul kepada Allah atau ma’rifat billah”.

“Dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, maka Allah akan memberikan jalan baginya. Yang dimaksud adalah orang yang berjihad dalam berbuat Lillah (niat hanya mengabdi kepada Allah) maka Allah akan memberikan petunjuk kepadanya.

“Berkata Abu Ali Ad-Daqqoq: Barang siapa yang mengisi bidang lahirnya dengan mujahadah, Allah akan menghiasi batinnya dengan cahaya musyahadah (kesadaran terhadap Allah)”

“Mujahadah adalah kuncinya hidayah, tiada kunci lain selain mujahadah”. (Ihya’ ‘Ulumuddin, Juz I, hal. 39)

Sebagai seorang mujaddid, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA telah menemukan suatu cara bermujahadah yang sangat mudah dan praktis dalam pengamalannya. Dengan mengamalkan Sholawat Wahidiyah dan Ajaran Wahidiyah dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bimbingan Muallif Sholawat Wahidiyah akan dapat mengantarkan si mujahid (orang yang bermujahadah) sadar ma’rifat kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW.

Untuk mendorong agar pengamal Wahidiyah selalu berusaha meningkatkan mujahadah, taqorrub dan kembali kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW, maka Muallif Sholawat Wahidiyah RA membimbing para pengamal Wahidiyah dengan bermacam-macam bentuk mujahadah beserta cara pengamalannya. Di antara jenis-jenis mujahadah itu antara lain sebagai beirikut : 

a. Mujahadah Yaumiyah
b. Mujahadah Usbuiyah
c. Mujahadah Syahriyah
d. Mujahadah Rubu’us Sanah
e. Mujahadah Nisfu Sanah
f. Mujahadah Kubro
g. Mujahadah Momentil (Mujahadah Waqtiyah)
h. Mujahadah Khusus

Mujahadah Kubro Wahidiyah merupakan salah satu jenis mujahadah yang ada dalam Wahidiyah dan merupakan mujahadah terbesar dalam Wahidiyah. Mujahadah Kubro diikuti oleh seluruh pengamal Wahidiyah dengan serempak pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA. Tujuan dari pelaksanaan Mujahadah Kubro adalah untuk memohon dan memohonkan kesadaran dan kesejahteraan bagi diri masing-masing, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dan bagi seluruh umat manusia jami’al ‘alamin. Bero’a dan mengajak seluruh umat manusia dan jin agar segera sadar dan kembali kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Bahkan memohonkan barokah dan kesejahteraan bagi seluruh makhluk Allah SWT.

Oleh karena itu bagi pengamal Wahidiyah seharusnya mengahamkan keikutsertaannya melebihi segala aham lainnya untuk menghadiri Mujahadah Kubro. Bagi yang berhalangan hadir karena ada udzur yang tak bisa dielakkan masih ada kesempatan untuk mengikuti Mujahadah Kubro dari tempatnya masing-masing dengan bermujahadah mengiringi waktu-waktu yang telah dijadwalkan oleh panitia Mujahadah Kubro.

Adalah sangat tepat dan patut untuk ditiru, suatu sikap yang dilakukan oleh sebagian pengamal Wahidiyah yang berusaha dengan sungguh-sunguh untuk mengosongkan atau menghentikan dari kesibukan atau aktifitas hariannya dan mencurahkan perhatian dan waktunya hanya untuk mengikuti Mujahadah Kubro yang hanya beberapa hari itu. Apabila kita, misalnya, sebagai karyawan dalam suatu perusahaan alangkah sangat tepat apabila kita mengajukan permohonan cuti guna menghadiri Mujahadah Kubro. Demikian juga dengan pengamal Wahidiyah yang keberatan untuk menghadiri Mujahadah Kubro karena faktor biaya, hendaknya setiap hari menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung guna biaya menghadiri Mujahadah Kubro. Mengingat begitu pentingnya acara Mujahadah Kubro, sampai-sampai Muallif Sholawat Wahidiyah pernah dawuh, “Kalau ada pengamal Wahidiyah yang kerja di luar pulau, maka hari rayanya tidak usah pada Idhul Fitri, tetapi diganti saja pada waktu pelaksanaan Mujahadah Kubro agar dapat mengikuti Mujahadah Kubro”[15]

Pada saat berlangsungnya Mujahadah Kubro tahun 1983, PSW Pusat mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh pengamal Wahidiyah daerah-daerah dan mengadakan penertiban atau penyeragaman bacaaan dalam bermujahadah yang dipandu oleh Kiai Yusuf, Kediri. Sehubungan dengan pertemuan tersebut Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA memberi teguran dengan bahasa sindiran yang sangat halus, “Wis karek jupuki iwake, kok dadak ndandani jolo (sudah tinggal ngambil ikannya, kok malah memperbaiki jala). Memperbaiki bacaan mujahadah mestinya waktu lain, tidak waktu Mujahadah Kubro begini”.[16]

Dari dawuh tersebut dapat disimpulkan bahwa menyia-nyiakan waktu saat pelaksanaan Mujahadah Kubro merupakan kerugian yang sangat besar, karena dapat diibaratkan Mujahadah Kubro merupakan masa panen bagi pengamal Wahidiyah. Alangkah sangat ruginya bagi pengamal Wahidiyah yang telah hadir di acara Mujahadah Kubro namun tidak menggunakan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Misalnya waktunya hanya digunakan untuk bersenang-bersenang, Mujahadah Kubro hanya merupakan acara pindah tidur dan makan. Waktu dalam Mujahadah Kubro banyak digunakan untuk membicarakan kejelekan-kejelekan teman-teman pengamal Wahidiyah lainnya. Intinya Mujahadah Kubro hanya untuk menuruti hawa nafsu saja. Sungguh hal ini dikecam oleh Muallif Sholawat Wahidiyah.

Ketahuilah, masih banyak teman-teman kita pengamal Wahidiyah di daerah-daerah yang ingin sekali menghadiri Mujahadah Kubro, namun karena berbagai faktor, terutama faktor biaya (keuangan) sehingga mereka tidak dapat menghadiri Mujahadah Kubro. [ Ceritakan kisah seorang pengamal Wahidiyah yang tidak dapat menghadiri Mujahadah Kubro _ Aham_Qomari? ]

D. Tapak Tilas Perjuangan Wahidiyah

PERLU TAMBAHAN RISALAH RASULULLAH SAW
…………

Perjalanan Perjuangan Wahidiyah adalah salah satu gambaran tentang keberadaan Perjuangan Wahidiyah sejak Sholawat Wahidiyah dilahirkan dan disebarluaskan kepada masyarakat umum yaitu mulai tahun 1963 sampai dengan tahun 1989, tahun kewafatan Muallif Sholawat Wahidiyah.
Dalam bagian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keadaan Perjuangan Wahidiyah dari tahun ke tahun. Liku-liku Perjuangan Wahidiyah akan dibahas pada bagian ini. Mulai dari pahit getirnya, suka dukanya, teror dan ancaman yang dihadapi. Pembahasan ini akan dibagi pada tiga bagian (periode) yaitu; Periode Tantangan dan Pemantapan, Periode Pergolakan dan Periode Kebangkitan.

1. Periode Tantangan dan Pemantapan

Sebagai realisasi dari perintah ghaib agar beliau Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA ikut berjuang memperbaiki mental masyarakat lewat jalan bathiniyah, maka setelah lahirnya Sholawat Wahidiyah beliau pun segera menyuruh beberapa orang untuk mengamalkannya. Setelah mengetahui hasil uji coba beberapa orang yang mengamalkan Sholawat Wahidiyah (saat itu masih Sholawat Ma’rifat saja) menunjukkan hasil positif, maka beliau lebih giat untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah pada masyarakat umum. Beliau memanfaatkan acara-acara yang dihadiri orang banyak dan tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk memperkenalkan Sholawat Wahidiyah. 

Hal ini dilakukan karena mempunyai nilai strategis yang amat efektif dari sudut perjuangan. Sebab pada umumnya acara-acara besar akan dihadiri oleh orang-orang terkemuka dan punya pengaruh cukup luas. Hal tersebut merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dalam dakwah (syiar) Wahidiyah kepada masyarakat umum. Kehadiran para ulama, umara dan tokoh masyarakat adalah kesempatan emas untuk melakukan penyiaran Wahidiyah.

Tidak ketinggalan pada acara Walimatul Khitan Agus Abdoel Hamid, Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA mengundang ulama besar dari berbagai daerah di Jawa Timur disamping keluarga dan undangan lainnya. Hadir sebagai bintang tamu (tamu khusus) pada acara yang digelar pertengahan tahun 1964 itu antara lain, K.H. Abdoel Wahab Hasbullah, Pengasuh Pondok Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang yang juga sebagai Rois ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) III (1946-1971). Juga hadir K.H. Mahrus Ali Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri yang juga sebagai Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan turut hadir pula K.H. Abdoel Karim Hasyim pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang serta K.H. Hamim Jayuli (Gus Mik) putra K.H. Djazuli Utsman Pengasuh Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri.[17]

Pada acara Walimatul Khitan ini acara mau’idhatul hasanah (pengajian/hikmah walimatul khitan) ditiadakan. Susunan acara lengkapnya adalah; Pembukaan, Pembacaan Ayat-ayat Suci Al-Quran, Sambutan Panitia Penyelenggara dan sambutan-sambutan. Sambutan shahibul hajah disampaikan oleh beliau 
Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA sendiri. 

Kemudian diteruskan sambutan yang kedua dari K.H. Abdoel Wahab Hasbullah dan sambutan yang ke tiga dari K.H. Mahrus Ali.
Gus Mik yang pada waktu itu mendapat tugas sebagai ketua panitia dalam sambutannya antara lain berkata:

كُلُّ جَمْعٍْ مُؤَنَّثٌ

Kalimat lengkapnya dari syair :

لَيْتَ قَوْمِيْ تَجَمَّعُوْ # وَبِقَتْلِىْ تَحَدَّ ثُوْا
لاَ أُبَا لِىْ بِجَمْعِهِمْ # كُلُّ جَمْعٍْ مُؤَنَّثٌ

Artinya: “Barangkali kaumku berkumpul dan membicarakan tentang cara membunuh aku. Aku tidak peduli dengan kumpul mereka. Sebab orang banyak (beraninya mengeroyok) itu seperti betina (tidak menunjukkan kejantanan)”.

Selanjutnya Gus Mik menyatakan “Saya merasa di tengah-tengah harimau yang besar-besar. Supaya saya tidak takut dan ragu, semua ini saya anggap tidak ada. Dengan nada berat Gus Mik melanjutkan sambutannya, Para hadirin ! Siapakah sebenarnya Agus Abdoel Madjid itu ?, Pertanyaan itu dijawab oleh Gus Mik sendiri; Beliau adalah roisul ‘arifin. Hadirin ! Seumpama beliau Syekh Abdoel Qodir al Jailani masih hidup, saya yakin beliau akan juga ikut mengamalkan sholawatnya Agus Abdoel Madjid ini !”.[18]

Dalam sambutannya sebagai shohibul hajah beliau Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA memberikan ijazah Sholawat Wahidiyah kepada para tamu yang hadir. Di antara dawuh yang beliau sampaikan dalam sambutannya antara lain sebagai berikut : “Nuwun sewu, kulo nggadahi amalan Sholawat Wahidiyah. Menopo Panjenengan kerso kulo ijazahi ?” (Maaf, saya punya amalan sholawat (Sholawat Wahidiyah). Apakah anda mau saya ijazahi ?). Spontan hadirin menjawab dengan suara gemuruh dan serempak “kerso (mau)”. Di antara mereka ada yang setengan berdiri, bahkan K.H. Wahab Hasbullah dengan berdiri dan mengacungkan tangan menyambut ijazah tersebut dengan suara lantang:

قبلت أ وّلا

(Saya menerima paling dulu) dengan mengulanginya tiga kali.

Atas ijazah yang disampaikan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA itu, sambutan-sambutan selanjutnya berisi tanggapan terhadap Sholawat Wahidiyah (Ma’rifat) yang baru saja beliau ijazahkan. Di antaranya tanggapan dari K.H. Abdoel Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut :

“Hadirin! Ilmunya Gus Madjid itu dalam sekali. Ibaratnya sumur yang dalamnya sepuluh meter, sedangkan saya hanya memiliki ukuran (kedalaman) satu sampai dua meter saja”. Lanjut dawuh beliau “Sholawatnya Gus Madjid akan saya amalkan”. 

Sedangkan sambutan K.H. Mahrus Ali antara lain mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah tentang isnad minal adillah dan pertanggungjawaban.[19] 

Bahkan pada tanggal 28 Desember 1984, K.H. Mahrus Ali membuat selebaran yang isinya mempermasalahkan Sholawat Wahidiyah. Dalam selebaran itu K.H. Mahrus Ali juga menyatakan bahwa santri Lirboyo diharamkan mengamalkan Sholawat Wahidiyah sebab ajarannya bertentangan dengan syari’at.[20] (Isi lengkap dari selebaran KH. Mahrus Ali akan dibahas pada bagian lain).

Atas tanggapan K.H. Mahrus Ali terhadap Sholawat Wahidiyah tersebut, perjuangan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA untuk menyiarkan Sholawat Wahidiyah kepada masyarakat umum mulai ada batu sandungannya. Tidak dapat disangkal, K.H. Mahrus Ali merupakan seorang tokoh dan ulama besar yang mempunyai pengaruh cukup luas kepada umat Islam khususnya warga nahdhiyin.

Akibat pernyataan K.H. Mahrus Ali itu muncul isu di masyarakat bahwa Sholawat Wahidiyah itu amalannya jin, barang siapa mengamalkannya akan gila dan masih banyak isu-isu yang intinya mendiskreditkan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA dan Sholawat Wahidiyah.

Semua fitnah dan isu-isu yang ditujukan kepada Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA, beliau tanggapi dengan penuh kesabaran. Beliau tidak patah arang (putus asa), bahkan semakin bersemangat dalam menyiarkan Sholawat Wahidiyah. Semangat juang beliau tidak lapuk oleh hujan tidak lekang oleh panas. Beliau terus dan terus berjuang, semangat juangnya bagaikan kobaran api yang terus membara. 
Beliau menyadari, bahwa Perjuangan Wahidiyah tidak akan berhasil manakala tidak didukung dengan kader-kader (pejuang) Wahidiyah yang handal dan militan. 

Oleh sebab itu, dalam perjuangannya beliau mengadopsi sistem perjuangan Rasulullah SAW. Bersama dengan kader-kader Islam yang militan, Rasulullah SAW berjuang dengan penuh semangat dan kebersamaan. Nyata hasilnya, hanya dalam waktu 23 tahun perjuangan Nabi Muhammad SAW terhadap bangsa Arab berhasil meliputi segala segi dan bidang kehidupan. Ini adalah sukses besar yang menakjubkan dalam sejarah dunia. Kesuksesan Muhammad SAW yang paling menonjol adalah beliau musnahkan sifat kemusyrikan, ditumbuhkan sifat keimanan dan ketauhidan.

Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab menyembah patung-patung dan batu-batu berhala dan mereka menyembelih hewan-hewan kurban di hadapan patung-atung itu untuk memuliakannya, dengan harapan mereka (patung-patung dan batu-batu berhala) dapat memberikan pertolongan dan memenuhi kebutuhan yang mereka inginkan. Namun setelah datangnya Islam yang membawa undang-undang dari Allah SWT yakni Al-Quran, maka semua bentuk kemusyrikan itu dilenyapkan.

Sangat tepat, apabila Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef QS RA d awal-awal Perjuangan Wahidiyah segera mengadakan Asrama Wahidiyah yang bertujuan untuk menggembleng dan membina kader Wahidiyah agar mempunyai semangat juang yang tinggi terhadap Perjuangan Wahidiyah.

Asrama yang dilaksanakan pada tahun 1964 ini merupakan Asrama Wahidiyah yang pertama kalinya dan langsung di bawah bimbingan Muallif Sholawat Wahidiyah QS RA selama tujuh hari. Peserta berjumlah puluhan dan sebagian besar adalah tokoh agama (kiai) dan belum semuanya mengamalkan Sholawat Wahidiyah. Ada indikasi kuat bahwa ikut sertanya para kiai dalam Asrama Wahidiyah ini dilatarbelakangi tujuan yang berbeda-beda. Bagi yang sudah mengamalkan Sholawat Wahidiyah, asrama ini merupakan sarana untuk memperdalam pengetahuannya tentang kewahidiyahan. Bagi yang belum mengamalkan Sholawat Wahidiyah, ingin mencocokkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu Wahidiyah, bahkan ada yang terang-terangan ingin beradu ilmu dengan Muallif Sholawat Wahidiyah, seraya berkata “Kalau saya kalah hujjah, saya siap berguru kepada Kiai Madjid”.[21] 

Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 5 sampai 11 Oktober 1965 diadakan Asrama Wahidiyah yang kedua dengan tujuan pemantapan pengetahuan dibidang kewahidiyahan dan menumbuhkan kecintaan yang tinggi terhadap kader-kader Wahidiyah, sehingga menjadi kader-kader pejuang Wahidiyah yang handal dan militan.[22]

2. Periode Pergolakan

Dalam masa ini Perjuangan Wahidiyah menghadapi satu konflik atau tantangan yang berarti, baik tantangan dari internal Wahidiyah ataupun dari luar Wahidiyah.
………………….
………………….
BERISI AYAT DAN HADIS YANG COCOK

a. Gangguan Internal

1) Kholwah Bening Lodoyo

Perjuangan tanpa adanya hambatan adalah impossible. Demikian juga Perjuangan Wahidiyah mengalami gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh pengamal Wahidiyah itu sendiri. Di berbagai daerah muncul kelompok atau jamaah yang mengaku sebagai pengamal Wahidiyah, tetapi dalam mengamalkan Sholawat Wahidiyah tidak sesuai dengan bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA.

Di daerah Blitar, tepatnya di desa Bening, Kecamatan Lodoyo muncul sebuah kelompok yang dinamai “Kholwah Bening Lodoyo”. Kelompok ini dipimpin Fadlan dan Basthomi, pengamal Wahidiyah yang sangat berpengaruh di daerahnya. Bentuk penyimpangan yang dilakukan antara lain, Mujahadah yang dilaksanakan bersama pengikutnya dia namakan “Kholwah” dengan tata aturan sendiri yang menyimpang dari bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah. Membagi-bagikan foto dirinya yang berdampingan dengan Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA dengan kesan bahwa dia berkedudukan seimbang dengan Mu’allif Sholawat Wahidiyah.[23] 

Bahkan pimpinan Kholwah Bening Lodoyo berencana akan memindahkan pelaksanaan Mujahadah Kubro dari Kedunglo ke Bening Lodoyo.[24]

Sebelum kelompok ini berkembang lebih jauh Mbah K.H. Abdoel Madjid Ma’roef RA mengutus dua orang, K.H. Zaenal Fanani dan H. Muhtar Abdoel Hamid, untuk menyampaikan pesan Mu’allif Sholawat Wahidiyah QS RA agar kelompok Kholwah Bening Lodoyo segera kembali dan menjadi satu dengan Kedunglo. Akan tetapi pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya tidak bisa memenuhinya. Mereka menjawab, “Tidak bisa ! Kholwah Bening Lodoyo dengan Kedunglo sigar semongko (Semangka dibelah dua). Kalau ingin mendalami ilmu-ilmu Wahidiyah di Kedunglo dan kalau ingin mendalami Wahdiyahnya di sini (Bening)”. Setelah hasil jawaban dari pimpinan Kholwah Bening Lodoyo disampaikan kepada M’allif Sholawat Wahidiyah QS RA, beliau dawuh “Menawi mboten saged inggih piyambak-piyambak kemawon lan mboten sisah ndamel Sholawat Wahidiyah” ( apabila tidak bisa, ya sendiri-sendiri saja dan tidak usah memakai Sholawat Wahidiyah).[25]

Tidak tahu persis, berapa lama Kholwah Bening Lodoyo terus eksis dengan kegiatannya. Namun pada suatu acara di Kedunglo yang juga di hadiri oleh pimpinan Kholwah Bening Lodoyo dan pengikutnya, K.H. Hamim Djazuli di hadapan hadirin memberi peringatan keras kepada mereka ysng intinya agar kelompoknya segera mohon maaf kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah dan membubarkan kelompoknya serta segera kembali kepada bimbingan Mu’allif Sholawat Wahidiyah SQ RA. Sejak itulah Kholwah Bening Lodoyo dibubarkan.[26]

2) Disharmonisasi antara Pimpinan PSW Pusat

Awal munculnya benih-benih pertentangan antara pimpinan Penyiar Sholawat Wahidiyah (PSW) Pusat berawal dari setelah pelaksanaan Musyawarah Kubro Wahidiyah I yang dilaksanakan tanggal 12-14 Desember 1985 di Kedunglo. Musyawarah Kubro Wahidiyah I didikuti oleh seluruh fungsionaris PSW Pusat, PSW Propinsi, PSW Kabupaten dan Kota se Indonesia dan undangan tokoh-tokoh pengamal Wahidiyah dari berbagai daerah.

Musyawarah Kubro Wahidiyah I menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya :

a. Menetapkan Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah.

b. Memilih dan menetapkan Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah disingkat DPPW beranggotakan 17 orang, diketuai oleh Agus Abdoel Latif Madjid. Tugas DPPW memberikan nasihat, saran, pertimbangan kepada PSW Pusat. Pada perkembangannya Dewan Pertimbangan Perjuangan Wahidiyah diubah menjadi Majelis Pertimbangan Wahidiyah disingkat MPW, disesuaikan dengan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD & PRT) PSW 1987.

c. Memilih dan mengangkat personil PSW Pusat, dengan personil sebagai berikut :

Ketua : Muhammad Ruhan Sanusi
Wakil Ketua : K. Muhammad Djazuli Yusuf
Sekretaris I : Agus Imam Yahya Malik
Sekretaris II : Drs. Imam Mahrus Afandi

Dalam perjalanannya, antara PSW Pusat dan MPW tidak dapat bekerjasama sesuai yang ditetapkan dalam Garis-garis Pokok Arah Perjuangan Wahidiyah, sehingga terkesan jalan sendiri-sendiri dalam menjalankan tugasnya. Akhirnya Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA dengan arif dan bijaksana membentuk suatu team yang disebut dengan “Team-3” yang beranggotakan, K.H. Ihsan Mahin, K. Mohammad Djazuli Yusuf dan H. Mohammad Syifa’. Jabatan K. Muhammad Djazuli Yusuf sebagai wakil ketua PSW Pusat digantikan oleh Drs. Syamsul Hadi yang pada waktu itu sebagai anggota MPW. Team-3 bertugas mencari penyelesaian berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan PSW Pusat dan MPW.[27].

Team-3 segera bertindak dengan sigap untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara PSW Pusat dan MPW. Pada tanggal 7 Mei 1989 Team-3 showan kepada Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA melaporkan persiapan akan mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai permasalahan dan memohon do’a restu dan petunjuk. Tanggal 9 Mei 1986 Team-3 mengadakan pertemuan yang dihadiri lebih kurang 115 orang terdiri dari fungsionaris PSW Pusat, para anggota MPW, PSW Propinsi Jawa Timur, PSW Kabupaten/Kota Kediri, PSW Malang, PSW Tulungagung, dan para pengamal Wahidiyah yang diundang oleh Team-3. [28]
Pada pertemuan itu Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA memberikan fatwa amanat, yang selanjutnya dikenal dengan “Wasiat 9 Mei 1986”. 

Inilah transkip rekaman Wasiat 9 Mei 1986 :

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
…………………..
…………………..
Almukarromin wal mukarromat beliau Bapak Kiai Ihsan Mahin, Bapak kiai Djayuli Yusuf, Bapak H. Syifa’ sebagai Team, dan para hadirin hadirot yang kami hormati sebagai undangan dari Team, undangan untuk musyawarah yang kita maklumi dan kita laksanankan.

Pertama-tama kami memanjatkan puja dan puji tasyakur kepada Allah SWT biqauli Alhamdulillai robbil ‘alamin, yang mana dari kita bersama mengadakan musyawarah ada berhasil dengan baik, ya sekalipun ada …. Ini dan itu, tapi toh akhirnya dengan baik. Yah mudah-mudahan musyawarah yang kita laksanakan ini benar-benar diridhoi Alloh wa Rasulihi SAW. Amin.

Terima kasih atas kepercayaan, ya maaf, beliau Bapak Tiga Team dan para bapak dan ibu pada saya untuk mengisi acara yang telah ditugaskan kepada saya ini.
Para hadirin hadirot yang kami muliakan.

Sebelum saya melanjutkan acara, saya harap dengan sangat, satu kali saja; Al- Fatihah. Ya, harap diijinkan, saya mendahului yaitu soal anu, soal yang tadi insya Allah tidak ada hubungannya dengan acara ini. Tapi sekalipun begitu, saya minta diperkenankan untuk bicara di sini. Dan saya mohon restu pada para hadirin hadirot, apa-apa yang saya bicarakan ini nanti benar-benar diridhoi Allah SWT.
Dan …. Ya, maaf…. dan terutama kalau terpaksa kami meninggalkan dunia yang fana ini nanti, yaitu;

Satu, Pondok Kedunglo. Ini adalah peninggalan orang tua saya, tapi ya sayangnya pada waktu itu saya sendirian. Dan insya Allah tidak satu kali saja. Yaitu saya dikatakan, yaitu maksudnya, Anu Djid. kowe karo Malik tak wehi iki. Kowe kidul, Malik lor. Kuwi maksude kanggo ngurip-ngurip pondok lan mesjid” (Itu Djid. Kamu sama Malik tak kasih ini. Kamu selatan Malik utara. Itu maksudnya untuk menghidupkan pondok dan masjid. Penulis.).

Jadi ini berarti bidang puniko dipikulkan pada saya dan saudara, adik saya yaitu Malik, bapaknya Yahya. Dan otomatis bukan materiilnya saja, tapi moril dan materiil. Saya dan Abdul Malik ketika itu. Tapi ya sayang, bapaknya Yahya itu meninggal lebih dulu dari pada ayah saya. Jadi setelah ayah meninggal, saya, hanya saya. Dan ini otomatis saya harus memikul atau bertanggung jawab soal moril dan materiil yang hubungan dengan pondok dan masjid. Dan ini mestinya kalau adik saya, Malik, itu sudah meninggal, mestinya anaknya, yaitu Yahya apabila dia sudah dewasa, mestinya. Jadi dua orang ini, saya dan Yahya. Ini fifty-fifty mestinya. Tapi ya maaf pada Yahya, karena selama ini, semenjak Yahya dewasa saya belum pernah mengutarakan soal ini. Jadi saya terus yang anu, yang mengemudikan masjid dan pondok ini.

Mestinya kalau sepeninggal saya, nanti keluarga saya disamping Yahya. Setengah-setengah atau separo-separo. Kalau Yahya hanya satu dan anak saya dan istri saya dua, ya maaf ya, anak saya berapa. Ini mestinya cara pembagian seperti itu, muwaris mestinya. Tanggung jawab, hak dan kewajibannya mestinya sama. Jadi kalau Yahya umpamanya, saya anu …., Pak Ruhan pernah saya …. anu, ya dengan berguarau … saya katakan …… ini begitu memang. Ini cara adilnya. Lain kalau kompromi. Nanti kalau kompromi lain lagi. Kalau adilnya….. dan mestinya ya. Ya mudah-mudahan senantiasa dapat kompromi. Nanti kalau tidak dapat, terpaksa tidak dapat kompromi, yaitu tadi harus dibagi dua. Yang satu yang 50 persen Yahya, yang 50 persen saya atau sepeninggal saya, ….. anak-anak saya semua, putra dan putri dan istri saya. Ini juga mempunyai hak dan kewajiban. Ini soal pondok dan masjid. Tapi dulu itu, ketika itu masih masjid yang lama dan pondok yang lama itu. Barang kali semua atau sebagian besar sudah tahu.
Lantas soal SMA dan SMP sekarang.

Itu ketika anu, ketika baru didirikan itu, Yahya dan Pak Mahrus datang, kalau tidak salah ini, datang menemui saya. Saya disodori blanko yang supaya neken. Yaitu diadakannya SMP dan SMA, asal tidak yaitu bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara, begitu kalau tidak salah. Atau dengan kata lain insya Allah, asal tidak merugikan kedudukan masjid dan pondok, saya ijinkan. Waktu kalau tidak salah yaitu Pak Mahrus dan Yahya. Jadi nanti, ya mudah-mudahan semuanya ini senantiasa dapat kompromi dengan maslahat dan baik, tapi kalau terpaksa ya itu tadi, caranya yang adil, begitu tadi.

Soal Wahidiyah

Seperti kita maklumi bersama atau sebagian besar, yaitu di buku Wahidiyah dan barang kali. Pertama, saya mendapat alamat ghoib satu, dua dan tiga. Lantas pada waktu itu saya usaha bermacam-macam. Tapi yang terakhir saya menyusun sholawat. Jadi tegasnya, saya ditugaskan. Ya maaf, ini untuk anu, ya … apa adanya. Untuk ditugaskan seperti yang …. Itu.

Jadi, ya maaf para hadirin dan hadirot dan para penyiar semua ini boleh dikatakan wakil saya. Al wakil atsirul muwakkil. Di ….. ada atau tidak ada atau terutama ada persoalan, muwakkil kuasa penuh. Yaa….. maaf ya, ini. Ya mudah-mudahan saya ini tidak diliputi oleh linnafsi binnafsi. Sekarang ya maaf, secara ringkas.

Ya maaf para bapak para ibu, hadirin hadirot. Ini ya maaf, saya…. Saya akan anu ……. akan menawarkan. Masih sanggup menjadi wakil sayakah atau tidak? Sangguuup (jawab hadirin dengan serempak disertai tangis gemuruh). Ya, maaf ini tidak paksaan. Kalau sudah tidak sanggup, ya silakan. Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri, insya Allah. Boleh dicoba, kalau. Tapi awas. Ya maaf, sekali lagi. Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Al-Fatihah !.

Adapun selama ini, ya maaf para bapak para ibu dengan mati-matian berjuang untuk melaksanakan sebagai muwakkil atau wakil, kami bungkem seribu satu bahasa….Dua patah kata permohonan pada Allah SWT untuk para hadirin hadirot, Jazaakumullohu khoirati wasa’adatiddunya wal akhirah. Amin.

Sekali lagi, ya maaf. Masih sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin). Yah para hadirin hadirot, ya maklum, apabila para hadirin hadirot rela menjadi wakil saya, iyalah tidak apa-apanya. Kecuali hanya, ya keberatan-keberatan dan pengorbanan-pengorbanan. Tidak ada imbal baliknya sama sekali para hadirin hadirot. Sebelumnya saya utarakan, sama sekali saya tidak punya apa-apa untuk, untuk memberi imbal balik kepada hadirin hadirot.

Para hadirin hadirot yang kami muliakan.
Tapi maaf, saya untuk ya para hadirin hadirot menerima dengan rela hati dengan gembira menjadi wakil saya, tapi ya maaf, saya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Yaitu, segala sesuatu yang negatif yang telah terjadi ini, supaya dibuang sama sekali. Sekali lagi perbuatan-perbuatan yang manapun, ucapan-ucapan yang tidak… yang bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah, ini supaya di….dihilangkan sama sekali. Terutama yang hubungan dengan perjuangan. Sanggupkah para hadirin hadirot ? Sangguuup ! (jawab hadirin).

Tuhan sebagai saksi yang agung. Dan, dan dilain itu kalau ya maaf para hadirin hadirot rela dan gembira menjadi wakil saya, saya suruh apa saja apakah mau para hadirin hadirot ? Mau !

Saya tidak maksa pada para hadirin hadirot. Kalau tidak sanggup ya silakan. Kalau sanggup, ya terima kasih sekali. Sekali lagi yaitu kalau sanggup menjadi wakil saya, supaya segala perbuatan dan perkataan maupun apa saja yang merugikan perjuangan terutama yang menjadikan fitnah, terutama ini supaya dibuang sama sekali. Maukah para hadirin hadirot dan bersedia ? Mau !

Dan anjuran supaya senantiasa saling memepringatkan dengan bijaksana. Ya sekali lagi maaf, supaya saling memperingatkan dengan bijaksana. Karena ya seperti kita maklumi, tidak mau memperingatkan sedang situasi membutuhkan, ini berarti merugikan pada pribadi yang tidak mau dan orang yang tidak diperingatkan. Atau dengan kata lain, ini bertentangan dengan Ajaran Wahidiyah.

Ya maaf pada yang bersangkutan. Kami minta dengan hormat dan sangat terutama secara umum, ya bapak dan para hadirin dan para ibu semua yang kami hormati. Ini menyanggupkan diri untuk menjadi wakil saya. Dan pada bapak atau ibu yang bersangkutan sekarang kami mau menunjuk. Kiranya apa ada yang keberatan umpama ada salah satu yang saya tunjuk supaya begini begitu umpamanya ? Sedia ! (jawab hadirin).

Yaitu satu, pada beliau Bapak Baderi. Saya minta supaya duduk di wakil pusat. Karena yaitu, asalnya pimpinan Pusat hanya dua, yaitu beliau Bapak Ruhan Sanusi dan beliau Bapak Kiai Djayuli. Dan saya mohon supaya dengan rela hati suka duduk di situ. Jadi 3 (tiga) orang. Ya mudah-mudahan menjadi manfaat dan barokah.

Dan buat sekretaris, kami mohon yang bersangkutan, yaitu Bapak Mahrus supaya menjadi Sekretaris I dan Yahya menjadi Sekretaris II. Jadi dibalik. Sanggupkah para bapak yang bersangkutan ? Sanggup ! Ya, Alhamdulillah, matur kasuwun. Al-Fatihah !

Selanjutnya saya mohon pada Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat, terutama Dewan supaya lebih, lebih banyak, jauh lebih maju daripada ysng sudah-sudah dalam segala bidang. Sekali lagi Penyiar Sholawat Wahidiyah Pusat terutama dari Dewan. Kami harap dengan sangat dan sungguh-sungguh supaya jauh labih meningkat daripada yang sudah-sudah dalam segala bidang.

Ya maaf. dalam beberapa minggu atau beberapa bulan, apabila perlu kami berhak untuk, anu para hadirin hadirot. Lebih-lebih kalau keadaannya hanya begini-begini saja, bahkan lebih glonjom, bahkan lebih parah. Kami berhak secara mutlak. Lebih-lebih ada persoalannya. Yaa maaf, ini bukan sombong. Ini saya menyatakan sesungguhnya apa yang ada. Ya maaf. Adapun keputusan-keputusan yang yang telah dibicarakan selama ini tadi, kiranya kalau tidak dapat diumumkan sekarang, mungkin lain waktu, mungkin ya lihat situasi. Barang kali begitu, barang kali.
Dan kiranya mari kita tutup yaitu dengan permohonan-permohonan kepada Allah SWT. Dan mari membulatkan tekad, taubat min yaumina hadza ila yaumil qiyamah, tidak akan mengulangi kembali soal-soal yang, yang tidak diridhoi oleh Allah SWT. Soal apa saja, perbuatan apa saja. Dan mari para hadirin hadirot kita mohon pada Allah SWT wa Rasulihi SAW.

Al-Fatihah …………… 1 X
Yaa syafi’al kholqis shoaltu wassalam ………….. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa Ayyuhal Ghoutsu salamullah ……. 3 X
Yaa Syafi’al kholqi habiballahi ………. 3 X
Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh 7 X
Yaa robbanallahumma …….. 3 X
Al-Fatihah ………… 1 X

Ya maaf. termasuk kata-kata saya tadi dan saya ulangi kembali sebagian yaitu setelah bubarnya musyawarah ini, dari kita jangan ada yang membicarakan soal-soal seperti biasa. Biasanya habis musyawarah itu ada saja yang tidak setuju ya begini, yang setuju begitu. Ini semua supaya tutup mulut. Yang tidak setuju terutama, tapi saya yakin, semua setuju menerima. Semua menerima permintaan saya.

Dan masih satu lagi. Yaitu sekarang dan sekalipun saya sudah tidak ada, hendaknya Perjuangan Fafirruu Ilalloh wa Rasulihi SAW ini senantiasa menjadi satu. Dan sini karena tempat lahirnya perjuangan, saya harap supaya tempat seperti yang, untuk acara yang seperti Mujahadah Kubro dan lain-lainnya supaya hendaknya bertempat di sini. Kalau tidak ada udzur yang tidak dapat dielakkan. Dan kemudian kami atas, yaa terima kasih sekali pada hadirin hadirot dan pihak Team dan untuk menghemat wekdal kami hanya dapat yah, ya selamat jalan dan salam-salam. Ya mari saling doa mendoakan, saling memaafkan, ya mudah-mudahan seperti sekarang ini terutama di akhirat nanti bisa menjadi satu di belakang Rasulullah SAW di belakang Ghoutsu hadzazzaman RA, showan di hadapan Allah SWT. Sekian

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Isi dari Wasiat 9 Mei 1986 adalah mengenai tiga hal. Pertama, tentang suksesi Pondok Kedunglo adalah hak waris. Kedua, tentang SMP dan SMA Wahidiyah. Ketiga, tentang Wahidiyah. Mengenai Wahidiyah beliau Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA menyatakan bahwa para pengamal Wahidiyah adalah “Wakil saya” (Wakil Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA). Kemudian beliau bertanya kepada semua yang hadir dengan nada suara yang tinggi “Masih sanggupkah menjadi wakil saya ? (diulang sampai tiga kali). Insya Allah makhluk lain banyak yang mendaftarkan diri. Kemudian semua yang hadir menjawab, “Sanggup !” disertai dengan tangisan yang melengking.[29]

Selanjutnya dawuh beliau syarat-syarat menjadi wakil, “dan perkataan Segala perbuatan maupun apa saja yang merugikan perjuangan, terutama yang menjadikan fitnah terutama ini supaya dibuang sama sekali”.[30]

Pada bagian akhir Wasiat 9 Mei 1986, Mu’allif Sholawat Wahidiyah RA meminta agar acara-acara besar Wahidiyah, seperti Mujahadah Kubro dan lain-lain supaya dilaksanakan di Kedunglo, kecuali jika ada udzur yang tidak bisa dielakkan.[31]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENYIBAK MAKNA MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH DALAM ILMU TASAWUF*_

 _*MENYIBAK MAKNA MUSYAHADAH DAN MUKASYAFAH DALAM ILMU TASAWUF*_ Assalamualaikum warahmatullahi wa Baroqatuh. Saudaraku...sebenarnya antara ...